Ranjau Rokok Mengepung Sekolah

 

tulisan-1aTak kurang dari 16,5 juta anak-anak dan remaja di Indonesia, dalam rentang umur 10-19 tahun, mengisap batang rokok. Di saat bersamaan, spanduk promosi dan transaksi jual-beli rokok secara ketengan dengan mudah ditemukan di warung-warung sekitar sekolah. Sebuah kebetulan? Lewat lima seri tulisan sesudah penelusuran selama dua bulan, “PR” menyingkap korelasi antara keduanya.

 

Jual-Beli di Gerbang Sekolah Berprestasi

Belasan pelajar bergerombol di pelataran rumah Cece (56), Jumat (29/1/2016) pagi itu. Di sela percakapan dan gelak tawa, batang-batang rokok berpindah dari satu mulut ke mulut yang lain. Kepulan asap tebal meliuk-liuk di atas kepala.

Rumah Cece terletak di depan kompleks SMP Negeri 48 Bandung. Dinding belakangnya berimpitan dengan pagar depan sekolah tersebut. Pelatarannya yang memunggungi sekolah menjadi persembunyian sempurna bagi gerombolan anak-anak di bawah umur itu untuk mengisap rokok.

Di sudut belakang rumah Cece, tepat di sebelah gerbang sekolah, sebuah warung kelontong leluasa menjual batang-batang rokok secara eceran. Stok berupa puluhan bungkus rokok berderet rapi di dalam kotak kaca yang ditaruh di atas etalase. Beberapa varian produk salah satu merek rokok berada di lapis terdepan.

Kotak rokok yang ditaruh setinggi 1,5 meter tersebut dengan mudah terlihat oleh setiap pengunjung warung. Sama seperti papan iklan di atas warung yang sulit terlewatkan oleh semua murid SMP N 48. Papan berisi produk rokok seluas 1×3 meter tersebut tak mau kalah gagah dari papan nama sekolah mereka di gerbang masuk. Dua batang besi sebesar betis orang dewasa menopangnya.

Yuni (24), menantu Cece, menunggui warung yang dibuka sejak 2009 tersebut. Sambil mengasuh anak pertamanya yang gemar menggelayut manja di gendongan, dia melayani para pelajar yang menjadi pelanggan utama warungnya.  Nama bayi itu Emil (2). Nama yang diabadikan dalam papan iklan rokok di atas warung.

“Papan itu didirikan dua tahun lalu. Orang dari perusahaan rokok yang datang ke sini, menawarkan pemasangan papan nama warung. Saya dikasih uang Rp 1 juta untuk satu tahun kontrak,” ujar Yuni.

Selain papan iklan yang memuat nama warungnya, Yuni juga diberi kotak kaca untuk menaruh bungkus-bungkus rokok. Penempatan kotak itu di atas etalase, bukannya disembunyikan di belakang, juga merupakan permintaan orang dari perusahaan rokok. Pengecekan stok rokok dilakukan dalam kunjungan sekali setiap pekan.

Yuni menjual tak kurang dari 100 batang rokok setiap harinya. Harga per batang berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 1.500.  Harga yang sangat terjangkau oleh kantong saku para pelajar. Apalagi jika dilakukan secara patungan.

“Siapa lagi yang beli di sini kalau bukan para siswa? Warung dan kompleks sekolah ini kan ada di jalan buntu. Sedikit warga perumahan yang datang ke sini,” tutur Yuni.

Yuni mengaku tahu bahwa para siswa dilarang merokok oleh para guru. Namun larangan itu, sepengetahuan dia, hanya berlaku di dalam lingkungan sekolah. “Kalau di luar (sekolah), ya tidak apa-apa (merokok) kan?” ucapnya.

Rayhan (13), salah satu murid kelas 8C SMP N 48, menyadari keberadaan iklan rokok di atas warung Yuni. Ia juga tahu betul beberapa teman sekolahnya membeli rokok di warung itu, lalu mengisapnya secara sembunyi-sembunyi.

“Saya tidak tahu itu melanggar aturan atau tidak, tapi di kelas, para guru berulang kali mengingatkan kami untuk tidak merokok,” katanya.

Faradila (12), murid kelas 8A, tahu bahwa bukan warung milik Yuni saja yang menjual rokok secara ketengan. Dia beberapa kali mendapati teman sekolahnya membeli rokok di warung kelontong dengan spanduk produk rokok merek lain di seberang rumah Cece. Spanduk berisi sepasang muda-mudi memamerkan tawa lebar mereka di atas mobil mewah.

“Biasanya beberapa teman membeli rokok pada saat jam istirahat atau setelah sekolah selesai,” ujar gadis berkerudung dan berkaca mata itu.

Belasan pelajar di pelataran rumah Cece Jumat pagi itu berkumpul dan mulai mengisap rokok setelah jam sekolah. Ketika itu pukul 09.30 WIB. Para murid dipulangkan lebih awal karena semua guru mengikuti acara perpisahan kolega mereka yang memasuki masa pensiun. Selain ramah-tamah dan makan siang, mereka menggelar pengajian.

 

***

SMP Negeri 48 memiliki tak kurang dari 1.200 siswa. Bertetangga dengan SMA Negeri 25 Bandung, sekolah yang berdiri sejak 1982 tersebut terletak sekitar 400 meter dari Jalan Raya Ciwastra. Akses menuju kedua sekolah berupa jalan perumahan Baturaden yang saat ini memiliki enam kompleks pengembangan sejak pertama kali dibangun pada awal 1980-an.

Dengan luas tanah hingga 11 ribu meter persegi, SMP N 48 merupakan kompleks sekolah negeri paling luas di Kota Bandung. Salah satu pemandangan unik di komples ini adalah sebuah taman air, lengkap dengan saung bamboo di pusatnya, yang berada di tengah deretan ruang kelas. Pada Desember 2015 lalu, SMP N 48 terpilih sebagai satu dari 26 sekolah di Kota Bandung yang diganjar Anugerah Adiwiyata Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMP N 48 Bandung Ida Widaningsih mengungkapkan, para guru sudah menerima laporan-laporan yang menyebut kebiasaan beberapa murid merokok pada jam istirahat atau jam pulang sekolah. Ironisnya, sebagaimana dikatakan Ida, “tidak banyak yang bisa dilakukan”.

“Yang bisa kami lakukan adalah memastikan tidak ada rokok masuk sekolah. Kami berwenang penuh untuk itu. Namun kalau urusannya menyangkut lingkungan di luar sekolah, itu di luar jangkauan kami,” tutur Ida.

Ida menganalogikan permasalahan rokok dengan urusan parkir yang tak kalah pelik. Pihak sekolah secara tegas melarang semua muridnya, karena masih di bawah umur, untuk mengendarai sepeda motor ke kompleks sekolah. Yang terjadi kemudian, oknum warga memfasilitasi parkir sepeda motor di lahan kosong di luar sekolah. Sewa parkir yang dipungut dari para siswa masuk ke saku mereka.

Menurut Ida, pihak sekolah sudah berinisiatif melakukan dialog dengan tokoh masyarakat, Ketua RW, dan pejabat kelurahan. Beberapa kali petugas kepolisian dihadirkan di sekolah untuk mempromosikan budaya tertib berlalu-lintas. Hasilnya sama saja. Warung-warung tetap menjual rokok secara bebas, lahan parkir tetap penuh dengan sepeda motor.

Ketua RW 07 Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Rancasari, Dedi Stepandi mengetahui bahwa warung-warung di sekitar SMP N 48 bebas menjual rokok dan beberapa siswa sembunyi-sembunyi mengonsumsinya. Namun ia mengklaim, belum pernah ada keluhan atau keberatan yang secara resmi disampaikan kepadanya.

“Saya tidak bisa serta-merta memaksa warung-warung itu berhenti menjual rokok. Ini kan menyangkut urusan perut warga,” ujar Dedi ketika ditemui di rumahnya, Senin (8/2/2016) tengah hari.

Dedi, seorang notaris yang mulai tahun lalu menjabat Ketua RW. Rumahnya berdiri memanjang di atas dua petak lahan di kompleks Baturaden, sekitar 100 meter dari sekolah. Di dalam bangunan dua lantai itu, terdapat kolam renang dengan air jernihnya berkilauan.  Sebungkus rokok tergeletak di atas meja ruang keluarga.

 

 

tulisan-2aDari Turangga ke Tetangga Wali Kota

Epan (33) masih mengingat dengan baik kedatangan seorang petugas pemasaran rokok awal 2015 lalu. Dari orang itu, ia mendapatkan secara cuma-cuma selembar spanduk tebal untuk melindungi warung dari terik matahari dan limpasan air hujan. Ia juga dijanjikan uang sebesar Rp 40 ribu per bulan selama spanduk tetap terpasang satu tahun ke depan.

Tidak ada alasan yang dimiliki Epan untuk menolak rejeki nomplok itu. Ia hanya mengajukan satu persyaratan yang segera disetujui sang petugas pemasaran: uang senilai Rp 40 ribu per bulan diberikan dalam wujud rokok.

 

“Kalau berwujud rokok, saya bisa menjualnya dan mendapatkan sedikit tambahan keuntungan,” ujar Epan ketika ditemui di warungnya, Selasa (9/2/2016) pagi.

Warung Epan berupa jongko kayu seluas hanya 1×2 meter. Berbagai kebutuhan praktis sehari-hari, mulai dari kopi, mi instan, hingga botol air mineral, diatur berderet di etalase kaca yang memakan separuh luas warung. Di pojok kanan atas etalase itu, terpajang rapi puluhan bungkus rokok berbagai merek.

Epan bergantian menunggui warung tersebut dengan sang ayah yang mulai berjualan sejak 30 tahun lalu. Sebulan sekali lelaki berkulit coklat yang murah senyum itu pulang ke Majalengka menengok istri dan anak semata wayangnya yang masih balita.

Warung Epan terletak di trotoar Jalan Solontangan, Kelurahan Turangga, tak sampai 10 meter dari mulut gang masuk menuju SMP Negeri 28 Bandung. Setiap hari ratusan pelajar melintas di depan warung yang separuh penampakan depannya tertutup bentangan spanduk gratis berisi iklan salah satu merk rokok internasional tersebut. Sebagian dari mereka mampir membeli makanan atau minuman. Beberapa yang lain membeli rokok secara ketengan.

“Kebanyakan yang beli rokok di sini anak SMA dan SMK. Anak SMP ada juga. Sekitar tiga atau empat orang setiap harinya,” kata Epan.

Turangga merupakan salah satu kelurahan di Kota Bandung dengan jumlah sekolah terbanyak, mencapai 17 unit. Di Jalan Solontongan saja, selain SMP Negeri 28 yang memiliki 980 murid, terdapat SMA Negeri 8 dan SMK Negeri 3 Bandung. Masih di kawasan yang sama, tepatnya di Jalan Kliningan, terdapat SMK Negeri 4 dan SMK Negeri 8. Tak heran, spanduk rokok berbagai merek membentang di hampir semua warung kelontong di kawasan tersebut.

Lurah Turangga Supriatna mencermati, serbuan spanduk rokok di warung-warung kecil di lingkungan sekolah makin menjadi dalam dua tahun terakhir. Ia mengaku sudah menurunkan paksa beberapa spanduk, salah satunya spanduk di warung di samping kompleks kelurahan, namun jumlah yang terpasang justru terus bertambah.

“Patokan kami, selama spanduk yang terpasang di warung-warung itu terbukti tidak berizin, ya cepat atau lambat bakal kami turunkan. Namun kalau spanduk-spanduk itu berizin, ya kami bingung juga harus bagaimana,” kata Lurah yang telah menjabat sejak lima tahun lalu tersebut.

Di sudut kanan bawah spanduk di warung Epan, tertera stempel dan tanda tangan berwarna hitam. Artinya, Pemerintah Kota Bandung secara resmi memberikan izin pemasangan spanduk di dekat lingkungan sekolah tersebut.

 

***

Di Jalan Balonggede, 10 meter dari dinding belakang rumah dinas Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Didin (36) sibuk melayani pembeli di warungnya, Rabu (10/2/2016) pagi. Memiliki luas 4×4 meter, warung tersebut leluasa menampung berbagai barang, mulai dari kue dan makanan ringan hingga telor dan beras.

Didin baru membuka warung itu enam bulan lalu setelah usaha jualan basonya gagal meraup untung. Baru beberapa hari berjualan, datang “orang rokok” yang menawarkan selembar spanduk serta uang Rp 1 juta kepadanya.

Tanpa pikir panjang, Didin menerima tawaran kerja sama tersebut. Spanduk putih berukuran 1×3 meter berisi logo salah satu merek rokok segera membentang di depan warungnya. Sebuah kotak kaca penuh dengan bungkus rokok, ia taruh di atas etalase depan agar mudah terlihat oleh pembeli. Didin harus menjamin keberadaan dua piranti promosi itu selama satu tahun penuh.

Dari semua barang di warungnya, Didin mengaku bahwa rokoklah yang paling laku. Dijual secara ketengan, perputaran uang rokok demikian cepat. Pembelinya bukan hanya warga sekitar, tapi juga para pelajar.

“Namanya anak jaman sekarang beli apa lagi? Ya rokok,” tutur pria berkaca mata tersebut.

Tak sampai 50 meter dari warung Didin terdapat tiga kompleks sekolah yang memiliki lebih dari seribu murid. SMP 1 dan SMP 2 Pasundan bergabung di kompleks yang sama. Di sebelahnya, berdiri SMA 1 Pasundan. Satu lagi sekolah adalah SD Negeri Balonggede, yang jaraknya sekitar 20 meter saja di sebelah selatan warung.

Petugas pemasaran rokok pemasang spanduk datang ke warung Didin sekali sepekan. Petugas pemasaran dari merek yang lain tak mau kalah. Meski warung Didin sudah berhias spanduk salah satu merek rokok, mereka tetap melakukan kunjungan rutin untuk memasok bungkus-bungkus rokok.

“Namanya orang cari uang ya harus pintar-pintar. Mereka kan berpikir, meski tak bisa memasang spanduk, yang penting produk mereka ada di etalase. Kalau ada di etalase, artinya rokok dijual ketengan,” kata Didin.

Tim peneliti Fikom Unisba Bandung bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Bebas Rokok Bandung (BRB) melakukan pengamatan terhadap 64 sekolah di berbagai sudut kota sepanjang Januari sampai Maret 2015. Hasilnya, 94 persen dari sekolah-sekolah tersebut ‘diserbu’ iklan dan promosi produk rokok yang dipasang di warung-warung di sekitarnya. Semua perusahaan rokok besar ditemukan jejaknya.

“Warung-warung dalam radius 100 meter merupakan lokasi favorit ajang promosi dan penjualan rokok. Bahkan ada perang merek di sini. Tim marketing perusahaan rokok menerjunkan orang-orang khusus untuk membina pemilik warung agar menonjolkan produk mereka,” ujar Shanti Indra Astuti, dosen Fikom Unisba yang menjadi koordinator pengamatan, ketika ditemui di kampusnya, akhir Januari 2016 lalu.

Menyimak agresivitas promosi dan penjualan rokok di sekitar sekolah, Shanti dan timnya yakin perusahaan-perusahaan rokok tengah menjalankan sebuah misi khusus. Mereka menyasar calon-calon perokok pemula.

“Untuk tujuan seperti itu, apa ada lokasi yang lebih strategis dibandingkan sekolah?” tanya Shanti, retoris.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan mengungkap 27,2 persen dari total penduduk Kota Bandung yang berumur 10 tahun ke atas, atau setara dengan 600-an ribu orang, merupakan perokok. Ironisnya, 73,6 persen dari mereka mulai mengisap batang rokok pada usia 10-19 tahun. Rentang usia ketika anak-anak dan remaja berseragam sekolah.

 

tulisan-3aPekat Asap Kongkalingkong

Ridwan Kamil mengernyitkan dahi. Sambil membetulkan letak kaca mata kayunya, ia berucap pelan, namun dalam nada geram: “Saya baru tahu itu malam ini.”

Rabu (10/2/2016) itu, Emil, demikian ia akrab disapa, baru bisa melonggarkan waktu untuk wawancara sekitar pukul sembilan malam. Terlambat dua jam dari jadwal yang dia janjikan. Agenda kerjanya sambung-menyambung sejak pagi, mulai dari rapat penilaian Adipura, peninjauan Stadion Gedebage, Sidang Paripurna dengan DPRD, hingga pembahasan desain revitalisasi Taman Tegallega dan Babakan Siliwangi.

Yang baru diketahui Ridwan Kamil malam itu adalah temuan banyaknya sekolah di Kota Bandung yang dikepung iklan dan transaksi rokok. Termasuk sebuah spanduk di belakang rumah dinasnya. Ia tak menyangka, pemasangan reklame rokok bukan hanya bermain kucing-kucingan dengan aparat di jalan-jalan protokol yang ramai dilintasi warga.

“(Iklan dan transaksi rokok di sekitar sekolah) Ini sebuah kesengajaan. Mereka (industri rokok) menyasar kelompok usia anak-anak dan remaja,” tutur Ridwan.

Pemerintah Kota Bandung menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 1015 pada akhir Oktober 2015 lalu. Peraturan ini merupakan perubahan atas Perwal Nomor 213 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Reklame. Salah satu poin penting dalam Perwal baru ini adalah pengadopsian beberapa ayat Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Salah satunya, pelarangan iklan rokok dalam radius 100 meter dari Kawasan tanpa Rokok (KTR). Sekolah termasuk di dalamnya.

Penerbitan Perwal baru ini merupakan hasil kajian dan lobi selama hampir setahun penuh. Ridwan Kamil, yang pernah membintangi iklan rokok saat menjadi arsitek, secara pribadi ingin melarang total penyelenggaraan reklame rokok. Para pengusaha reklame mengajukan keberatan. Rokok merupakan salah satu klien dengan kocek paling tebal.

Ridwan Kamil menyebut fakta yang berkebalikan. Reklame rokok tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD). Tidak sebanding dengan pencemaran visual yang dimunculkan. “Kita dibombardir iklan. Sampah visual di mana-mana,” tutur bapak dua anak ini.

Data Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung menyebutkan, dari total 5.900 izin reklame baru yang diterbitkan pada 2015, jumlah izin reklame rokok tak lebih dari 13 buah. Anjlok dari tahun sebelumnya yang mencapai 97 buah reklame rokok dari total 7.114 izin reklame.

Wawan Khaerullah, Kepala Bidang Perizinan V Reklame, Trayek, Usaha Angkutan, dan Parkir BPPT Kota Bandung, meyakini jumlah izin reklame yang terdaftar resmi di kantornya tersebut tidak wajar. Angka ini tidak mencerminkan fakta begitu mudahnya reklame rokok, baik permanen maupun insidentil, ditemui di tiap sudut kota.

“Mayoritas spanduk di warung-warung, yang jumlahnya ratusan atau mungkin ribuan, sudah bisa kami pastikan ilegal. Apalagi iklan produk rokok di sekitar lingkungan sekolah,” katanya.

Angka yang dipaparkan Wawan sejalan dengan data yang dimiliki Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung. Kontribusi reklame rokok pada tahun 2014 tercatat ‘hanya’ Rp 890 juta. Tahun berikutnya, kontribusi mereka turun menjadi Rp 341 juta. Jumlah kontribusi produk bernikotin ini hanya 3-4 persen dari total realisasi pajak reklame. Terhadap PAD Kota Bandung yang tahun lalu mencapai Rp 2 triliun, kontribusi pajak reklame rokok tak lebih dari 0,0002 persen.

“Kontribusi reklame rokok amat kecil. Apa yang membuat mereka harus diistimewakan?” ujar Kepala Disyanjak Kota Bandung Ema Sumarna ketika ditemui di kantornya, Kamis (27/1/2016) sore.

Salah seorang praktisi senior bisnis reklame di Kota Bandung membeberkan praktik kongkalingkong antara “orang-orang rokok” dengan “oknum perizinan” dan “oknum pajak”. Pemasangan atribut rokok di warung-warung sekitar sekolah, yang masuk kategori reklame insidentil, merupakan “lahan garapan” mereka. “Itu sudah jadi rahasia umum. Biro tidak bisa masuk,” katanya, Senin (7/3/2016) sore..

Dijelaskan praktisi tersebut, modus pelanggaran yang paling sering dilakukan adalah pemalsuan jumlah izin penyelenggaraan reklame. “Mereka mengurus izin 200 lembar spanduk, tapi yang mereka pasang bisa 2.000 lembar. Sekarang siapa mau mengecek spanduk itu satu per satu?” ucapnya.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Reklame Kota Bandung (IPRKB) Wid Sunarya membenarkan, tak ada biro reklame terlibat dalam proyek-proyek pemasangan atribut produk rokok di warung-warung. “Kami fokus pada billboard dan baliho,” tuturnya.

 

***

Besarnya uang haram di pusaran bobrok pengelolaan reklame tersirat dalam kajian Bappeda Kota Bandung dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran pada 2015 lalu. Potensi pajak reklame diyakini mencapai Rp 290 miliar per tahun. Ironisnya, realisasi pajak reklame tahun 2015 tak lebih dari Rp 19 miliar.

Meski praktik buruk pengelolaan reklame begitu kasat mata, bukan berarti penindakannya semudah membalikkan telapak tangan. Keterbatasan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dituding sebagai salah satu pangkal persoalan.

Pada 2011, Pemkot Bandung menyebut keberadaan 7.345 titik reklame ilegal, mulai dari yang tidak mengantongi izin, yang menyalahi izin, hingga yang izinnya kadaluarsa. Mayoritas dari mereka berupa spanduk atau papan iklan ukuran kecil. Termasuk di dalamnya berbagai model spanduk rokok di warung-warung sekitar sekolah.

Dalam kurun 2012-2014, Satpol PP menurunkan paksa sekitar 5.000 titik reklame ilegal, atau rata-rata 1.500 titik reklame per tahun. Jumlah yang sekilas terlihat jumbo ini pada kenyataannya tidak sebanding dengan jumlah izin baru reklame sebanyak 6.000 titik per tahunnya. Laju penertipan kalau jauh dari laju penerbitan izin yang memiliki batas waktu kadaluarsa.

“Kami seperti main kucing-kucingan sepanjang tahun. Siang hari kami menurunkan sekian puluh reklame, malam harinya terpasang puluhan reklame ilegal di titik lain. Bukan berarti kami menyerah, namun harus diakui memang ada keterbatasan,” ujar Kepala Satpol PP Kota Bandung Eddy Marwoto, ditemui di Balai Kota, Jumat (5/2/2016) siang.

Dijelaskan Eddy, keterbatasan sumber daya memaksa Satpol PP memprioritaskan penertiban reklame ilegal di jalan-jalan protol yang dinilai berdampak langsung pada estetika kota. Iklan-iklan yang merangsek ke jantung permukiman, termasuk lingkungan sekitar sekolah, nyaris tak tertangani.

Satpol PP saat ini memiliki 200 petugas lapangan. Pekerjaan mereka bukan hanya membongkar reklame ilegal. Berbagai tindakan penegakan peraturan daerah menjadi tanggung jawab mereka, mulai dari penertiban pedagang kaki lima (PKL) hingga razia PSK. Idealnya, menurut Eddy, jumlah petugas lapangan tiga kali lebih banyak.

Kernyit dahi Ridwan Kamil malam itu mengisyaratkan betapa kewalahannya pemerintah melawan serbuan iklan rokok ilegal. Aturan dan penegakannya kalah gesit dari strategi industri rokok.

 

 

tulisan-4aMereka yang Dikejar Target

Panggil saja laki-laki itu Roni. Tanggung jawab utamanya adalah mengunjungi 50-an warung binaan di wilayah selatan dan timur Kota Bandung masing-masing satu kali seminggu. Warung di sebelah gerbang SMP Negeri 48 salah satunya.

Roni biasa datang ke warung yang ditunggui Yuni setiap Senin sekitar pukul 10 pagi. Bukan dengan mobil boks penuh dengan stiker bergambar promosi produk rokok, tapi dengan Avanza perak yang tak beda dengan kendaraan warga umumnya.

Senin (1/2/2016) pagi itu, Roni menghabiskan 15 menit di warung Yuni. Bersama seorang rekan kerja, ia duduk di tangga di depan warung, mengecek daftar jumlah batang rokok yang terjual. Sejurus kemudian ia membuka pintu belakang Avanza dan mengambil dua pak rokok.

“Kami mengecek tanggal kadaluarsa. Jangan sampai ada bungkus yang sudah kadaluarsa, tapi masih dipajang di warung,” kata Roni dalam balutan seragam hitam-merah perusahaannya.

Menurut Roni, ia tidak harus memasok rokok ke warung-warung yang ia kunjungi. Pemilik warung dibebaskan berbelanja rokok dari mana saja, entah pasar atau toko swalayan. Namun, jika pemilik menelpon meminta pasokan, ia pasti datang.

Roni sudah bekerja di perusahaan rokok sejak 2002. Dalam dua tahun pertama, ia berpindah-pindah area pemasaran, mulai dari Bandung, Subang, lalu ke Banjar. Sejak akhir 2004, ia menetap di Bandung.

Berperan sebagai juru pelihara warung, Ron itidak berurusan dengan pemasangan spanduk atau papan nama toko. Ia mengaku tidak tahu-menahu perihal larangan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah. Belum pernah ada sosialisasi atau instruksi yang ia terima tentang aturan tersebut.

“Pemilihan warung dan pemasangan spanduk itu urusan orang Bagian Merchandise. Tugas saya hanya mengunjungi toko yang daftarnya sudah ada,” ujar lelaki bertubuh gempal dengan rambut ikal itu.

Setiap hari Roni berkeliling membelah kemacetan mulai pukul 8.30 pagi hingga sekitar pukul 5 sore. Target kunjungan ke 50-an warung binaan dalam seminggu merupakan harga mati. Ini menyangkut pendapatan bulanannya yang menjadi tumpuan menghidupi satu istri dan dua anak.

 

***

Cerita tentang target juga meluncur dari mulut Lukman (36), bukan nama sebenarnya. “PR” mewawancarainya ketika sedang menunggui anaknya di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bandung, Senin (29/2/2016) siang.

Lukman bekerja di sebuah perusahaan rokok nasional sejak lima tahun lalu. Ia memulainya sebagai seorang motoris, petugas yang mengunjungi warung-warung dengan mengendarai sepeda motor yang dilengkapi boks berisi rokok. Dalam satu hari, ada 40-an warung di bagian barat Kota Bandung harus ia kunjungi. Target penjualan batang rokok ditetapkan per bulan.

“Misalkan bulan ini saya ditarget menjual 100 ribu batang, ya saya pikirannya cari warung mana saja yang jadi sasaran. Lalu, saya breakdown, per warung saya mesti bisa memasok berapa batang,” tutur Lukman yang saat ini menjabat sebagai Koordinator Tim Sales yang membawahi para motoris.

Selain memastikan tercapainya target penjualan, motoris juga bisa memberikan rekomendasi pemasangan atribut produk rokok di warung-warung yang dinilai strategis. Pertimbangan utamanya adalah lokasi.

“Sederhananya, yang stratetegis itu ya yang banyak orang lewat. Warung-warung seperti ini pasti juga dikejar perusahaan rokok lain. Jadi, adu cepat,” ucap Lukman.

Pemasangan spanduk, stiker, atau cat produk rokok di warung dimaksudkan sebagai penanda keberadaan produk tersebut. Yang diharapkan setelah orang tahu, sebagaimana dikatakan Lukman, mereka merogoh kocek untuk membelinya.

Lukman membantah jika perusahaan rokoknya sengaja menjadikan anak-anak sekolah, terutama SMP, sebagai target penjualan. Keberadaan atribut rokok di warung-warung sekitar sekolah semata-mata akibat target penjualan yang dibebankan kepada para petugas di lapangan. “Kami mencari sebanyak-banyaknya warung. Sesederhana itu,” akunya.

Meski tidak hafal peraturan secara rinci, Lukman mengaku tahu adanya pelarangan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah. Ia berupaya mematuhi aturan tersebut meski pada saat yang sama mengakui bahwa patokan pemasangan atribut promosi semata-mata adalah letak strategis sebuah warung.

Sulit menyebut warung-warung di sekitar kompleks sekolah, yang jumlah muridnya bisa mencapai ribuan anak, tidak termasuk dalam kategori strategis. Lukman pun tidak membantahnya.

Terhadap temuan atribut dan transaksi rokok di sekitar sekolah, sebagian perusahaan rokok raksasa memberikan tanggapan mereka. Budhi Agoes Salim, Marketing Manager Regional Sales Marketing Services PT. Sumber Cipta Multiniaga memberikan jawaban lewat surat elektronik yang dikirimkan, Senin (14/3/2016) siang. Jawaban ini datang setelah selama satu bulan “PR” berupaya mewawancarinya.

Budhi membantah perusahaannya, yang bertanggung jawab atas pendistribusian produk Djarum di area Bandung dan Jawa Barat, secara sengaja menyasar para pelajar di bawah umur dengan memasang atribut di warung-warung sekitar sekolah. “Atribut (rokok) yang ada di warung adalah sarana yang menyatakan warung tersebut menyediakan produk. Tidak harus dipersempit dengan pemikiran bahwa hal tersebut (dilakukan) untuk sasaran anak sekolah karena lokasinya di area umum. Pembelinya bisa tukang becak, pejalan kaki, dan sopir,” tulisnya.

Terhadap transaksi rokok ketengan dan aksi merokok secara sembunyi-sembunyi oleh para pelajar, Budhi tidak membantahnya. Namun ia juga menegaskan hal tersebut bisa terjadi di mana saja, termasuk di dalam rumah.  “Pada kenyataannya sebagian besar perokok diawali dari rumah, semisal mengambil rokok orang tuanya dan curi-curi mencobanya,” tulisnya.

Budhi juga mengamini kecenderungan naiknya jumlah perokok anak-anak dan remaja yang ia sebut “mempunyai keingintahuan yang besar, salah satunya terhadap gaya hidup”. Menurut Budhi, imbauan sudah banyak diberikan oleh institusi kesehatan dan pendidikan, namun, “Kembali lagi kepada hak bebas tiap individu dalam menyikapinya”.

Di ujung surat balasannya, pria berkacamata yang akrab dengan komunitas event organizer (EO) di Bandung ini, menegaskan sikap korporasinya. “Perusahaan rokok tentunya melakukan aktivitas berdasarkan aturan yang ada,” tulisnya.

  1. HM Sampoerna Tbk memberikan tanggapan resmi mereka lewat surat elektronik yang dikirimkan oleh Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communications, Selasa (8/3/2016) malam. Dalam surat tersebut, mereka menegaskan sikap menentang kegiatan merokok di kalangan anak-anak.

Sesuai dengan sikap tersebut, Sampoerna mengklaim telah “melakukan setiap upaya untuk tidak memasang iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah”. Namun pada saat bersamaan mereka juga mengakui adanya potensi pelanggaran atas sikap tersebut “mengingat banyaknya jumlah retailer dan pedagang di seluruh Indonesia, termasuk Bandung”.

Sampoerna memiliki program Pencegahan Akses Pembelian Rokok oleh Anak (PAPRA) yang digulirkan sejak 2013. Program tersebut saat ini menjangkau hampir 30 ribu gerai penjualan. “Kami terus melakukan upaya terbaik untuk memastikan kami hanya melakukan komunikasi dengan perokok dewasa,” ujar Elvira.

“PR” masih menunggu tanggapan resmi dari PT Gudang Garam, Tbk dan Bentoel Group, dua raksasa rokok lainnya. Permintaan konfirmasi sudah dikirimkan lewat kontak yang tertera di laman resmi masing-masing.

 

Sumbangan cukai rokok dalam APBN 2015 mencapai Rp 149,5 triliun, atau setara dengan 9,4 persen dari total realisasi penerimaan negara. Dari jumlah tersebut, Rp 125,5 triliun datang dari empat perusahaan terbesar: Djarum, Sampoerna, Gudang Garam, dan PT PDI Tresno yang merupakan bagian dari Bentoel Group.

Tahun 2016 ini sumbangan pendapatan cukai rokok ditargetkan setidaknya bisa mencapai besaran yang sama. Batang-batang rokok yang dijual secara ketengan di warung-warung sekitar sekolah menjadi bagian dari upaya pencapaian target raksasa yang, ironisnya, ditetapkan oleh pemerintah.

 

 

tulisan-5aGelombang Baru Perokok Pemula

Yang terjadi pada Jumat (13/11/2015) pagi itu adalah sebuah sejarah. Puluhan murid SMP Negeri 7 Kota Bandung mendatangi warung-warung di sekitar sekolah mereka dan menurunkan spanduk-spanduk rokok yang terpasang di sana.

Tidak ada adu otot dalam aksi pagi itu. Para pemilik warung cukup puas, spanduk yang diturunkan ditukar dengan spanduk serupa meski isinya berkebalikan: pesan-pesan penolakan terhadap serbuan iklan rokok. Yang penting, warung mereka tetap terlindung dari limpasan air hujan dan terik matahari.

Aksi penurunan spanduk rokok ini merupakan bagian dari pendampingan yang diberikan oleh Tim peneliti Fikom Unisba Bandung bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Bebas Rokok Bandung (BRB). Rita Gani, pengajar di Fikom Unisba, mengungkapkan, pelibatan komunitas sekolah ini disodorkan sebagai jalan alternatif melawan gempuran iklan rokok di lingkungan mereka di tengah berbagai keterbatasan sumber daya pemerintah.

“Komunitas sekolah harus mulai peduli dan berani menyikapi apa yang terjadi di luar pagar. Jangan diam atau pura-pura tidak tahu. Sekolah punya hak karena wilayah dalam radius 100 meter itu masih bagian dari lingkungan mereka,” ujar Rita.

Para murid SMP N 7 tidak sendirian dalam menjalankan aksi penurunan reklame rokok. Mereka disokong penuh oleh para guru. Masyarakat sekitar, yang diwakili Ketua RW 02 Kelurahan Citarum, Pramutady, juga memberikan dukungan.

Yang tak kalah penting adalah jaminan keamanan. Penurunan spanduk dilakukan dalam koordinasi dengan Polsek dan Koramil setempat. “Kami sadar bahwa tindakan ini tergolong rentan karena bersinggungan dengan oknum-oknum yang kepentingan dengan spanduk tersebut,” kata Rita.

Sokongan dari berbagai pemangku kepentingan ini mutlak dibutuhkan agar upaya melawan serbuan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah membuahkan hasil. Yang terjadi di SMP Negeri 7 adalah kisah sukses. Di lokasi lain, SMP Negeri 40 Bandung, tim yang sama gagal menggerakkan para siswa melakukan aksi serupa. Jual-beli batang rokok terus berlangsung di depan gerbang sekolah tak jauh dari kompleks Balai Kota Bandung tersebut.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Elih Sudiapermana mengungkapkan adanya keragu-raguan dari para guru ketika harus bersingunggan dengan permasalahan di luar pagar sekolah. Cakupan Kawasan tanpa Rokok (KTR) masih dipahami sebatas di lingkungan dalam sekolah.

Elih membandingkan tindakan melawan serbuan iklan rokok dengan program Gerakan Pungut Sampah (GPS). Keduanya sama-sama dilakukan di luar pagar sekolah. GPS merupakan program rutin berupa aksi memungut sampah secara bersama-sama, biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum jam sekolah.

“Kalau ada GPS, tetangga-tetangga sekolah pasti mendukung. Siapa tidak mau jalan dan selokan mereka dibersihkan dari sampah? Kalau soal spanduk rokok, lain cerita. Banyak dinamikanya. Ini kan menyangkut penghasilan orang,” ucap Elih.

Elih berani memastikan sudah 100 persen lingkungan dalam sekolah di Bandung bersih dari atribut produk rokok. Terhadap serbuan iklan rokok di luar pagar sekolah, ia baru bisa menjanjikan upaya lebih serius untuk menyikapinya.

 

***

Serbuan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah terjadi juga di kota-kota lain di Indonesia. Mayoritas sekolah, mulai dari SD sampai SMP/SMK, dikepung iklan rokok dalam radius kurang dari 100 meter.

Pengamatan dilakukan serentak sepanjang Januari hingga Maret 2015 di Bandung, Jakarta, Makassar, Mataram, dan Padang. Keberadaan iklan rokok di warung sekitar sekolah ditemukan di 85 persen dari total 360 sekolah yang diamati. Mayoritas berbentuk spanduk.

Sebuah kebetulan? Hendriyani, pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), tidak memercayainya. Spanduk rokok bukan dimaksudkan untuk “melindungi warung dari tempias air hujan dan terik matahari”. Dia yakin betul, temuan ini mengungkap strategi besar perusahaan-perusahaan rokok menciptakan gelombang baru perokok anak dan remaja.

“Mereka memasang spanduk rokok di warung dekat sekolah, tapi mencuekin warung-warung yang jauh dari sekolah. Kenapa? Karena anak-anak sekolah yang mereka jadikan sasaran,” ujar Hendriyani yang juga pengurus Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) ketika ditemui di Jakarta, Rabu (3/2/2016) siang.

Ditemui di hari yang sama di Jakarta, Widyastuti Soerojo, Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), menjelaskan betapa strategisnya anak-anak dan remaja di mata perusahaan rokok. Hal ini tak terlepas dari kecenderungan turunnya prevalensi perokok baru usia dewasa setidaknya dalam 20 tahun terakhir.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan laju penurunan tersebut. Pada tahun 1995, prevalensi perokok baru usia 20-24 tahun mencapai 25,8 persen. Pada 2013, prevalensi tersebut turun menjadi 16,3 persen. Hal serupa terjadi di kelompok usia 25-29 tahun. Prevalensi perokok baru turun dari 6,3 persen pada 1995 menjadi 4,4 persen pada 2013. Kelompok umur di atas 30 tahun sama halnya. Prevalensi perokok baru turun dari 3,8 persen ke 3,6 persen.

“Sangat masuk akal jika industri rokok sekarang menyasar anak-anak dan remaja. Jika remaja tidak merokok, perusahaan rokok bakal bangkrut,” tutur Widyastuti.

Masifnya jangkauan serangan iklan rokok terhadap anak-anak dan remaja ini terungkap dalam survei cepat yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak di 10 kota di Indonesia pada 2012. Nyaris 100 persen anak usia 13-15 tahun mengaku melihat iklan rokok luar ruangan.

Tentang bagaimana spanduk iklan rokok dapat memengaruhi keputusan anak-anak dan remaja, ada beberapa studi yang bisa dirujuk. Salah satunya dilakukan Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka pada 2007 lalu. Mewawancarai 353 siswa SMP dan SMA/SMK, studi tersebut menemukan 70 persen responden remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh iklan.

“Iklan rokok bekerja lewat cara yang sangat subtil, halus. Cukup dengan asosiasi warna atau kata, produk mereka bisa dikenali. Tujuan akhir semua iklan ya sama saja. Mereka menuntun anak-anak dan remaja untuk membeli, mengkonsumsi,” ucap Hendriyani.

Efektivitas iklan rokok tercermin dalam Riskesdas, riset tiga tahunan yang dirilis Kementerian Kesehatan. Prevalensi perokok anak-anak dan remaja meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk kelompok umur 10-14 tahun, prevalensi perokok melonjak dari 9,8 persen pada 2007 menjadi 17,53 persen pada 2013. Prevalensi perokok usia 15-19 tahun naik dari 36,3 persen pada 2007 menjadi 55,4 persen pada 2013.

Riskesdas menunjukkan kepada kita ada 16,5 juta anak-anak dan remaja yang menjadi perokok pada 2013. Mereka menjadi bagian dari jumlah total perokok aktif di Indonesia yang mencapai 58,7 juta orang. Tanpa tindakan signifikan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) meramalkan dengan cemas jumlah perokok di Indonesia pada 2020 mendatang bakal menyentuh angka 160 juta orang.

Tentang bahaya kebiasaan merokok, sudah ada ratusan atau ribuan penelitian yang membahasnya. Salah satu kajian tentang dampak buruk rokok dilakukan secara rutin oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes. Pada 2013 mereka menemukan 240.618 kasus kematian prematur akibat penyakit terkait tembakau. Jumlah ini meningkat dari 190.260 kasus kematian yang ditemukan pada 2010.

Bukan tanpa alasan jika di setiap bungkus dan iklan rokok terpampang peringatan: “Merokok Membunuhmu”. Namun bukan tanpa alasan pula jika peringatan bernada mengancam itu gagal membendung laju penambahan jumlah anak-anak dan remaja yang mengisap batang rokok.***

Akhir Perjalanan Reading Lights

 

IMG_20160830_134952 (1)

Buku-buku meninggalkan deretan rak di Reading Lights, toko buku berumur 10 tahun di Jalan Siliwangi Bandung. Per 1 September nanti, tak ada lagi toko buku yang konsisten menyediakan buku-buku impor bekas tersebut.

Sejak awal Agustus 2016 lalu, sekitar seribu eksemplar buku diobral dengan iming-iming potongan harga antara 50 hingga 70 persen. Menjelang akhir bulan, tak hanya buku yang dijual, tapi juga segala peralatan dan pernik di toko buku ini, mulai dari rak, meja-kursi, hingga lampion-lampion yang selama ini berhasil memberi kesan nyaman. Semua diberi label harga.

Orang-orang hilir-mudik datang ke Reading Lights. Mereka mondar-mandir menelisik setiap judul buku. Yang lain melihat-lihat rak atau pernik lainnya. Koleksi buku semakin menipis, barang-barang lainnya ditempeli kertas bertuliskan “sold”.

Putri Devi Nitriawati (35), sang manajer toko, melayani para pengunjung tanpa kehilangan keramahan. Namun di dalam hatinya, perempuan yang akrab disapa Astrid itu mengaku menyimpan getir.

“Mengapa orang-orang baru datang ke toko ini setelah cuci gudang, setelah mau tutup? Padahal sejak awal kami sudah berkomitmen memberikan harga yang relatif murah,” ucap Astrid, Selasa (30/8/2016) sore.

Diyakini Astrid, gagalnya Reading Lights bertahan lebih lama menunjukkan ironi dunia literasi saat ini. Membaca masih belum menjadi kebutuhan primer, termasuk di kalangan anak muda dan mahasiswa.

“Mereka kalau datang ke sini tidak lagi untuk mencari koleksi buku. Yang pertama ditanyakan adalah apakah WiFi jalan atau tidak. Ya mau bagaimana lagi?” tutur Astrid.

Rinda (21), salah satu pelanggan Reading Lights, mengaku sedih dengan tutupnya toko buku yang dia kunjungi paling sedikit sekali sepekan ini. Selama ini toko ini telah membantunya dalam mencari buku-buku impor dengan harga yang relatif terjangkau oleh kantong mahasiswa.

“Jujur sih ya kalau saya ke sini tidak selalu beli buku. Kadang ngopi sambil mengerjakan tugas kuliah di laptop. Namun saya juga rutin beli buku dari sini,” ucap Rinda yang memborong empat judul buku.

 

 ***

Didirikan oleh pasangan Helen Lok dan Danny Lukito pada 2006 lalu, Reading Lights menjual buku-buku impor bekas dengan harga rata-rata Rp 30 ribu. Toko buku yang didesain senyaman rumah sendiri ini diperkaya dengan berbagai aktivitas berbasis komunitas, mulai dari merajut hingga melukis.

Masa sulit dimulai ketika pasokan buku bekas mulai sulit diperoleh dari luar negeri. Mereka praktis hanya berharap pada kiriman buku dari Yogyakarta dan Bali. Jumlah koleksi toko terus menyusut beriringan dengan terus menciutnya jumlah pembeli sejak tahun 2011. Meski demikian, Helen, sang pemilik, bersikukuh untuk bertahan. Reading Lights harus tetap beroperasi tanpa pernah dibebani dengan target keuntungan.

Ditunggu lima tahun, kondisi tak juga membaik. Saat ini dalam sebulan, rata-rata 100 eksemplar buku terjual. Transaksi ini hanya cukup untuk memutar siklus jual-beli buku. Gaji bagi para karyawan, yang jumlahnya terus dikurangi dari delapan orang menjadi terakhir empat orang, mustahil terpenuhi.

“Keputusan tutup ini adalah keputusan yang sulit. Namun kami tidak bisa mengorbankan karyawan terus-menerus. Target kami saat ini adalah mengoper konsep bisnis Reading Lights kepada investor yang berminat. Semoga akan segera ada kelanjutan Reading Lights di kota ini,” kata Astrid.

Helen Lok mengaku belum memiliki rencana bakal dibuat apa bangunan bekas Reading Lights ini. Ketika ditanya apakah dia merencanakan sesuatu yang masih ada kaitannya dengan buku, perempuan berusia 70 tahun yang masih energik itu menggeleng pelan. Dia lalu melangkah keluar toko.  

Selasa siang itu, hujan turun deras. Air cileuncang melaju kencang di badan jalan di depan toko. Beberapa pelanggan Reading Lights yang dikenal akrab oleh Astrid bergantian datang. Mereka berpelukan dan bertukar cerita, sebelum mulai berkeliling menelisik sisa koleksi buku.

“Kebersamaan seperti ini yang juga bakal hilang bersama tutupnya Reading Lights. Sesungguhnya, ini yang paling membuat saya sedih,” tutur Astrid.  

Hey Medici!

Creativity and Problem Solving, a course that I picked blindly just based on its name, brings a lot of excitements to me. I will wrap and bring them all home with me in my flight to Indonesia this Friday.

It is a class, with its six students, that challenges you with a lot of discussions and activities. At first, all the assignments overwhelmed me. Especially a booth fair as the final project. I used to believe that this kind of activities are not for me. But then I realize, this is the core of this class, the essence of creativity itself: addressing every obstacle in a new way.

I learn a lot of thing, from its theories to its activities. If I have to mention one that is striking, it must be the discussion about Medici Effect. It is really something that enlighten me. A class time that dedicated to watch two movies about Google and Pixar, and then the blog assignment, will surely make me impossible to forget this magic word.

Collaboration is a word that I already know. Often hear it and more or less I know its meaning. But the term Medici Effect makes everything clearer. It leads me to appreciate more the meeting, the ideas exchanges, the cooperation between people from different background.

And thankfully, this message is really relevant for me! It reminds me to move from the comfort zone as a traditional journalist. It reminds me that today is the era of multimedia. It won’t be enough if you’re just good in writing. Challenge yourself! Have discussions with people who are expert in photography or videography.

It’s also relevant for my personal goal: publishing a book. I should begin to talk with more people with various background to have more colorful stories. Maybe I should ask people to read my draft so they can give some feedbacks. Why should I continue to keep this writing just for myself? Why don’t I share it so more people can throw their contribution?

Medici Effect will only lead you to be a better person. You will be offered more points of view, you will be challenge to leave your comfort zone.

If I have to mention the most impressive lessons in this class, then it should be Medici Effect!

It has been a great class. Indeed.

Thanks Sir Elgene, thanks classmates. Hope to see all in the near future, so that we can share how you guys generate Medici Effect and have benefit from that.

Life is beautiful, smile!

Cheers!

We Made It!

At the beginning, everything seemed so difficult. The teacher already told us about making a booth as final class project at the very first meeting. I was so overwhelmed.

I always believed that I was not good in ‘promotion’ activities, like making booth and ensuring people to come to the booth. I was not a good seller. I really had no idea how to do this.

But slowly, everything was just getting better for me and my smart team mate, Paulina. We chose Philippines culinary as our main theme. So, I had to learn a lot about the food. At least by searching them in internet.

We started everything with the main concept. What would we do with the booth? Would we just be serving the food and hoping people would stay for more than one minutes? Or we put extra value in this activity? We said yes. And the extra value from our booth is the history behind the food. And how we would present this idea? We agreed to make this in an interesting way: pop quiz.

So the idea was clear. We would invite people to come to our booth and to taste our food for free. While sitting and eating, we would start the quiz to make them stay longer. And hopefully, to give them some knew knowledge about the local food too.

We chose three famous Philippines food: sisig, leche flan, and lumpia. Paulina got the idea. I followed her by starting to learn the story behind them. This food was not just delicious, they also had interesting stories.

Worries about how we would get the food was solved when we found good food in ISO. It made a lot of things easier for us. We could focus on how we would decorate the booth with papers, hand writing, and drawing. (Honestly, it has been a very long time since I made my last drawing. But it was worthed. I never lost that passion and excitement!)

IMG_20160710_182952

When the D-day came, we had very limited time to set up the booth. Both Paulina and I had midterm exams for other courses. But finally we made it, with a lot of improvisations, especially on how we set up the booth. (I really liked the background whiteboard. It reminded me to some cozy vintage café!)

IMG_20160711_133649

It was an exciting two hours. My main job was inviting people as many as possible. Paulina then would take care of the presentation. And she did it brilliantly. People enjoyed both our food and also the pop quiz. (Just look at my friend Zayar, the guy in the white t-shirt! He was so impressed. :-))

IMG_20160711_151542

At first I honestly thought that persuading people to have some free food would be an easy job. Who would reject the free food? I was expecting every person I met would be like the young student that gave her staring eyes and wide smile soon after I offered her a free food.

I was wrong. Many people refused the offer. “Sorry I am busy,” they said. “I have a class,” the other one replied while waving his hand.

Maybe I still need to learn more on how to persuade people. It is a skill, and maybe someday I will really need this one. But surely I can be proud of myself for what I achieved. We had more than 50 visitors. And the best thing was: they were staying at our booth, definitely more than one minute, to try the food and to enjoy the quiz! Bravo, goal achieved!

It was really an interesting class project. A new experience. A fun.

Here are some lessons learnt:

  1. Preparation is everything. Good preparation will only leads to better execution.
  2. Always open yourselves for other’s ideas. Make discussion!
  3. Reliable friends will always benefit you. Find a good community! Get involved, and trust them!
  4. See rules and deadline in a positive way. They are not always limiting you, they are challenging you to be creative.
  5. Be prepared for improvisation. Be aware.
  6. Believe in what you have. Be confident.
  7. Finally, enjoy every moment of your hard effort. It’s too precious to be missed. Don’t let worries drive you!

Cheers, everyone!

 

A Narrow World

I never had enough confidence to make a song and then share it publicly. I always believe it will embarrass me.

I am not good enough in playing guitar. Okay, I can play it. But that’s it. I just can play it in very basic level. In fact, it has been years since the last time I played it intensely.

I listen to some music. But that’s it. I am just a listener that has difficulties to catch up with recent pop songs. I am stuck in Beatles, Sting and The Police, Queen, Scorpions, Rod Steward, Marley…

I also made several poems in the past. But that’s it. I collect them in a book, and keep it for myself.

Did I ever want them to be shared publicly? Honestly, I did. Sometimes I feel the writings I produced for my newspaper were not enough. I feel they do not satisfy my self. They do not represent whole of me.

Sometimes I feel my poems do better. And I want people to know that.

That’s why I took the challenge. I make a song in three days, and share it. Yes, I did it!

It is a simple song where I want to share my feeling about what is going in our world these days: Istanbul, Oregon, Dhaka, Saudi, Indonesia. From tragedy to tragedy. It is very sad to see all of these bad things happened.

This song is a prayer. It is full of hope.

Don’t expect a super quality voice. Please understand, I am not a good singer. I just can sing. That’s it.

Thanks for Nat for lending me the guitar.

It is a simple song recorded by a smartphone, so please enjoy it as it is. It is in Indonesian. but a song should be a universal thing. I provide the link and the translation for lyrics below.

Cheers!

 

A Narrow World

 

Black and white is the world you’re living in

Dreams killed by loneliness

Colors that you burry at the bottom of your heart

All is gone but the hatred

 

Reff: 

You run, you hide

You stop, you turn back

Open your window, breathe the new air

Take a step

Greet the blue sky, the sun welcomes you

Dance with me

Dance with me

 

Revenge won’t heal your pains

Only tears you will meet

Reff:

 

 

 

Dunia Sempit

 

D                                                 Em

Hitam putih dunia sempit yang kau tinggali

G                                              A

Mimpi-mimpi yang terbunuh sepi

D                                                 Em

Semarak warna yang kaukubur di dasar hati

G                                                 A

Lenyap menyisakan rasa benci

 

Reff

D             Em      G           A

Kau berlari,        kau sembunyi

D             Em     G         A

Kau berhenti,     kau kembali

D                                 Bm

Bukalah jendelamu hirup udara baru

G

Melangkahlah

D                                 Bm

Sapalah langit biru, mentari menyambutmu

G                 D

Menarilah bersamaku

G                 D

Menarilah bersamaku

 

 

Em – G – A

 

D                                                   Em

Dendam tak kan menyembuhkan luka-lukamu

F                                         A

Hanya air mata yang kau temu

 

Reff

 

 

After “Toy Story”

pixar

The successful “Toy Story” showed the world, not just those Pixar’s guys, that there was a (bright) future for a weird idea called computer animated film. Films that come after it show those Pixar’s guys, and hopefully all the world too, that the most important thing here is (always) the people!

Released in 1995, Toy Story was a real breaktrough, with a very long and fascinating story behind it. There were a lot of struggles and sacrifices. Just look how John Lasseter was fired by Disney strightly after his first project because they believed that John’s new idea won’t be a success. But for sure, there were also hope. Look how Steve Jobs, the visionary investor, had to loose big money during its first five years just because he trusted those young men’s dream.

Toy Story, simply, was a success story at its best. It was a meeting point of young men’s ambition, biggest company’s acceptance, and public’s excitement. Toy Story brought us to the future’s gate. But the question was: what is next?

There is always something bad called second film syndrome. Toy Story was a successful new-creative thing, but how you prove that it was not a lucky punch, a hype? Pixar answered that main question by releasing A Bug’s Life three years later. It was another hit.

The challenges, and pressures, were raised to the next bar for their third project: the first sequel of Toy Story that had to be released in 1999 as asked by Disney. In The Pixar Story (2007), John and his fellow Ed Catmull confessed that it was their defining moment. Their first two very successful films had made them tired and looked like running out creative ideas. And the worst thing: the tight deadline!

Toy Story 2 was delivered on time. And, surprise-surprise, it had been an even bigger hit than its predecessors. Yes there was improved technologies in making 3D film, there was advanced softwares to make the character more realistic. And yes there was some new ideas put in the film, a sad song that easily made us cry pitying the doll in the donation box. But, as Ed believed, it was not about the high-technology nor the mindblowing ideas. It was simply about the people.

“From that (Toy Story 2), we learn that the important thing is not the idea. The important thing is the people. It’s how they work together…” said Ed.

pixar2

In fact, it was all about the people: John Lasseter, a brilliant storyteller, was taught by the famous Disney’s animators “Nine Old Men”. After being sacked by Disney, he worked for LukasFilms to meet Ed Catmull, one of the first man that mastered a science called computer graphics. They made Pixar. Steve Jobs then bought it to give the young men larger spaces to experiment.

It is interesting to see how these Pixar guys worked as a ‘fluid’ but at the same time ‘very disciplined’ team. They had a playing ground-like office that allowed people to do crazy things, but they also had serious meetings where they shared both ideas critiques.

One of their most stand-out principles was how they rejected the comfort zone by changing the director. It was a common practice, and a safer one, that you used same director that brought you success. But Pixar did not do that. They even brought an outsider director, just like what they did in the very successful Finding Nemo (2003) and then followed by the similar successful Incredibles (2004).

Pixar believed that new guy would bring new experiences and new knowledges. He/she would add values to the team, would refresh the creative circumstance. That was the time for Pixar people to learn again, to raise the bar again.

It was the people, and their belief, that drove Pixar further forward. Their next films were their next success stories: Cars (2006), Ratatouille (2007), WALL-E (2008), Up (2009), etc.

The Pixar Story, in my opinion, is not just a story of a new creative and fascinating way to make cartoon movies. It is more a story of how creative people overcome the challenges and obstacles creatively.

 

 

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (9-Habis)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (9-Habis)

Wajar Dikdas dalam Keranjang Sampah Anggaran Pendidikan

 

Enam bulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi menghapus pegecualian gaji pendidik di Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, tepatnya Jumat 12 September 2008 sore, datang sebuah naskah eksaminasi publik ke meja Mahfud M.D, Ketua MK pengganti Jimly. Yang menyerahkan, para peneliti Indonesia Corruption Watch bersama para pegiat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan.

Eksaminasi bernada keras ini tidak disiapkan asal-asalan. Dirancang sejak akhir Februari 2008, berbagai tahapan, mulai dari analisis ahli, sidang eksaminasi, hingga diskusi publik, digelar secara maraton selama tak kurang dari dua bulan. Sebagai Majelis Eksaminasi, ditunjuk lima tokoh mumpuni. Winarno Surakhmat, H.A.R Tilaar, dan Soedijarto mengkaji permasalahan dalam kepakaran mereka di bidang pendidikan, sementara Zainal Arifin M. Husein dan Supriyadi Widodo  menelisik dari sudut pandang hukum.

Ditemui akhir November lalu di Jakarta, Ade Irawan, Wakil Koordinator ICW, mengungkapkan, eksaminasi harus dilakukan karena banyak keganjilan ditemukan sejak dari proses sidang hingga pengambilan putusan. Para perumus eksaminasi percaya, ada tangan Pemerintah di balik ajuan gugatan uji materi ini.

“(Gugatan) Ini bagian dari kepentingan politik agar Pemerintahan SBY-JK tidak terus-terusan dituduh melanggar konstitusi. Cara yang paling mudah ya dengan mengubah penghitungan anggaran pendidikan. Karena tak bisa Pemerintah gugat sendiri, disuruhlah orang,” ujar Ade yang ketika itu merupakan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, divisi yang mengurusi layanan sektor pendidikan, sekaligus Sekretaris Koalisi Pendidikan.

Dalam wilayah kajian hukum, eksaminasi di antaranya menyoroti tindakan para hakim MK yang mengadili tidak sesuai dengan kewenangannya melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945. Dalam putusan perkara nomor 24/PUU-V/2007 itu, MK justru mendalilkan ketidakkonsitenan yang terjadi dalam UU Sisdiknas yang mestinya menjadi wilayah pembahasan DPR dan Pemerintah sebagai pembuat undang-undang.

Dari segi kajian filosofis dan politik pendidikan, eksaminasi memberikan banyak catatan terkait imbas buruk putusan. Tilaar, lewat surat elektronik yang ia kirim dari luar negeri awal Januari ini, menyebut dua kerugian pokok dunia pendidikan akibat putusan MK ini. Pertama, karena alokasi minimal 20 persen tersedot untuk gaji pendidik, praktis dana tersedia untuk pembangunan pendidikan hanya 10 persen saja. Jumlah ini pun bakal terus menyusut seiring laju sertifikasi guru.

Kerugian kedua adalah sulit terkontrolnya alokasi anggaran pendidikan di daerah-daerah karena amanat 20 persen tidak memiliki daya paksa lagi. Alokasi dana pendidikan di hampri semua pemda jauh melebihi angka 20 persen, namun sebagian besar dari jumlah itu merupakan gaji pendidik yang ditransfer dari APBN. Ini sebuah ironi karena di era otonomi, pemda-lah yang menjadi penentu utama kemajuan capaian pendidikan di wilayah mereka masing-masing.

Dengan cara seperti inilah pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN/APBD kehilangan makna dan jatuh sebagai pencitraan belaka karena isinya keropos. “Ini pembohongan kepada rakyat!” sebut Tilaar.

Karena putusan MK tak bisa dibatalkan atau direvisi, betapapun ganjilnya, eksaminasi dibuat untuk setidaknya mengingatkan para hakim agar mempertimbangkan hal-hal yang lebih substansial sebelum memutuskan. Termasuk di antaranya adalah efek putusan di masa mendatang.

Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan isi eksaminasi ini. Jimly Asshiddiqie, umpamanya, mengecam pendirian para pengkritik yang sampai hari ini masih saja menuding masuknya gaji guru sebagai biang segala masalah pendidikan. Ia menyebut mereka terjebak dalam rasionaliasi angka dan mengabaikan roh perumusan besaran minimal 20 persen. “Mereka seolah-olah mulia, tapi terjebak pada rasionalisasi angka. Apa beda mereka dengan JK?” ujarnya.

Rasionalisasi angka yang dimaksudkan Jimly adalah cara berpikir yang semata-mata terpaku pada hitung-hitungan angka minimal 20 persen itu. “Kalau begitu caranya ya gampang. Masukkan ini, keluarkan itu. Cara berpikirnya bukan dari roh, tapi dicari celah-celahnya,” cetusnya.

Menurut Jimly, tak ada pentingnya lagi mempersoalkan putusan MK atas gugatan uji materi UU Sisdiknas enam tahun lalu itu. “Profesor (yang masih mempersoalkan) kayak gitu goblok. Gak paham. Ia gak mengikuti dinamika pertarungan ide. Apa (putusan) itu jadi sumber masalah?” semburnya.

Jimly berpendapat, setelah amanat 20 persen itu terpenuhi, optimasi alokasi anggaran pendidikan sangat mungkin dilakukan asal Pemerintah mau berkomitmen. Caranya bukan dengan mengeluarkan gaji guru, yang merupakan komponen utama pendidikan, tapi pelan-pelan mengeluarkan pos lain yang tidak perlu. Ia mencontohkan infrastruktur, “(Infrastruktur) Gak penting-penting amat. Gedung bisa milik swasta, pemda. Bisa gandeng orangtua murid,” ucapnya.

Jusuf Kalla meyakini, alokasi minimal 20 persen anggaran pendidikan, termasuk gaji guru di dalamnya, merupakan angka yang sudah besar. Anggaran sebanyak ini cukup untuk mencapai kemajuan signifikan layanan pendidikan lewat perbaikan sekolah, peningkatan kualitas guru, beasiswa, dan bahkan pemerataan pendidikan di daerah. “Banyak yang bisa dilakukan,” katanya.

Ekonom-politisi Kwik Kian Gie termasuk mereka yang melihat secara realistis masuknya gaji guru ke dalam hitungan alokasi anggaran pendidikan. “Pernah ketika menjabat Kepala Bappenas, saya dipanggil DPR, ditanya kenapa tak bisa 20 persen. Saya jelaskan, bisa saja dipaksa 20 persen di luar gaji guru, tapi kementerian lain bakal ambruk,” ungkap politisi PDI Perjuangan yang menjabat Kepala Bappenas periode 2001-2004 tersebut ketika dihubungi 21 November sore.  

Kwik sependapat dengan niat baik perumusan alokasi minimal itu. Namun ia juga menyadari keterbatasan kemampuan keuangan negara. “Seperempat anggaran kita habis buat bayar utang. APBN kita tidak cukup duit,” ujarnya.

Apakah pendapat Kwik masih berlaku untuk APBN tahun-tahun belakangan? “Saya kira masih seperti itu,” tuturnya.

Demikianlah dua kutub pemikiran tentang penghitungan gaji pendidik lestari hingga hari ini.

 

***

Pascaputusan MK, ada dua realitas yang sulit dibantah kebenarannya. Pertama, tepat seperti salah satu pertimbangan putusan mahkamah, Pemerintah sejak APBN 2009 mampu memenuhi amanat alokasi dana pendidikan minimal 20 persen APBN/APBD berkat masuknya gaji guru. Kedua, persis sebagaimana ditakutkan tiga hakim konstitusi pembuat dissenting opinion, masih ada ragam permasalahan mendasar dalam capaian pendidikan yang membuat Indonesia tetap saja keteteran mengejar ketertinggalan dari negara lain. Apakah ada kaitan di antara keduanya?

Ade Irawan yakin ada. Amanat konstitusi memang terpenuhi, tapi bukan sebuah kebetulan jika besarannya selalu ada di batas terbawah. Tak pernah lebih barang satu persen. Semangat ‘dipas-pasin’ demikian kentara. Anggaran pendidikan, yang diperjuangkan dengan niat mulia lewat amandemen UUD 1945 dan UU Sisdiknas, saat ini tak ubahnya keranjang sampah. “Semua yang berbau-bau pendidikan diklaim sebagai anggaran pendidikan sekadar agar genap angka 20 persen itu,” tuturnya.

Ambil contoh APBN 2013 dimana Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan senilai Rp 336,8 triliun, atau sekitar 20,01 persen dari total APBN. Dari alokasi minimal ini, hanya 30 persen di antaranya yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayan serta Kementerian Agama, dua kementerian yang benar-benar mengurusi bidang pendidikan. Sebanyak 55 persen dari total APBN Rp 336 triliun ini habis ditransfer ke daerah. Sebagaian besar untuk gaji dan tunjangan guru. Ada juga pos dana abadi sebesar Rp 5 triliun yang tak boleh diotak-atik kecuali untuk kepentingan darurat. Sisanya, tak kurang dari Rp 7 triliun, menjadi bancakan 14 kementerian/lembaga lain. Termasuk di dalam daftar kementerian yang mengelola dana pendidikan ini, yang kadang sulit membayangkannya, adalah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian.

Yang juga terbaca dari postur APBN ini adalah alokasi dana untuk gaji dan tunjangan guru yang menyedot sekitar 57 persen dari total anggaran. Urusan gaji dan tunjangan guru ini tidak ada sangkut-pautnya dengan perluasan akses pendidikan atau perbaikan infrastruktur sekolah. Ia juga terbukti belum berkorelasi langsung dengan peningkatan mutu proses belajar-mengajar di sekolah, meski program sertifikasi diniatkan Pemerintah untuk menyasarnya. Apakah guru yang makin sejahtera, makin berkualitas mengajarnya? Korelasi antara keduanya sama sumirnya dengan korelasi antara alokasi raksasa anggaran pendidikan dalam APBD dengan capaiannya di lapangan.

Laporan terbaru Bank Dunia “Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia” yang dirilis 14 Maret 2013 lalu menunjukkan kegagalan program sertifikasi memberikan dampak pada perbaikan mutu pendidikan. Melakukan penelitian di 240 SD dan 120 SMP di seluruh Indonesia sejak 2009, Bank Dunia mendapati tidak adanya perbedaan prestasi mengajar yang signifikan antara guru yang sudah tersertifikasi dengan yang belum. Tolok ukurnya berupa perbandingan hasil tes yang melibatkan 39.531 siswa untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan Bahasa Inggris.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri sebenarnya telah memperoleh kesimpulan serupa lewat dua ujian yang mereka selenggarakan sebagai bagian proses sertifikasi tahun ini. Dalam uji kompetensi awal (UKA) yang diikuti 281 ribu guru pada akhir Februari 2012 lalu, diperoleh rata-rata nilai nasional 42,25 dari nilai maksimal 100. UKA merupakan tes menjelang proses sertifikasi. Setelah para guru mengikuti pelatihan, dilangsungkan ujian kompetensi guru (UKG). Hasilnya toh tak banyak berbeda. Rata-rata nilai nasional hanya naik 3,57 poin.

Imbas dari penganggaran model bancakan semacam ini adalah menyempitnya dana yang benar-benar dialokasikan untuk pengembangan pendidikan. Ujung-ujungnya, layanan pendidikan terbengkalai, bahkan sejak dari layanan paling mendasar yang dibebankan kepada Pemerintah: Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.

Salah satu orang yang percaya bahwa Wajar Dikdas Sembilan Tahun sejatinya belum tuntas dan bahwa cekaknya anggaran yang jadi penyebabnya, adalah Suyanto. Ini sebuah ironi karena ketika klaim tuntas muncul pada 2008, ia merupakan orang nomor satu di Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Departemen Pendidikan Nasional, direktorat yang paling bertanggung jawab atas penuntasan program nasional tersebut.

Ketidaktuntasan, menurut Suyanto, terlihat mencolok dari segi kualitas. Ia berpegangan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang rinciannya ditetapkan Pemerintah lewat Permendiknas Nomor 15 tahun 2010 sebelum direvisi dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2013 tentang SPM Pendidkan Dasar di Kabupaten/Kota.

Peraturan ini berisi 27 item standar layanan yang amat mendasar. Pembagiannya, 14 item diserahkan pemenuhannya kepada kabupaten/kota, di antaranya ketersediaan satuan pendidikan dalam jarak terjangkau, jumlah maksimal peserta didik dalam setiap rombongan belajar, keberadaan laboratorium IPA, serta ketersediaan dan kualifikasi guru, kepala sekolah, dan kepala sekolah. Sisanya, 13 item standar layanan, diserahkan ke sekolah. Termasuk di antaranya ketersediaan buku pengayaan, penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) oleh setiap guru, serta supervisi rutin oleh kepala sekolah.

Faktanya, hingga 2011, berdasarkan data yang dimiliki Kementerian, masih terdapat 44,84 persen SD yang belum sanggup memenuhi SPM. Di jenjang SMP, 26 sekolah masuk kategori paling bawah ini. “Yang harus diingat, kita ini baru bicara yang minimal lho ya. Minimal!” ujar Suyanto ketika ditemui di Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Oktober lalu. 

Imbas dari kondisi semacam ini adalah ketertinggalan Indonesia dalam capaian dan prestasi pendidikan. Suyanto merujuk hasil berbagai tes dan riset internasional, seperti PISA dan TIMMS, yang selalu menempatkan Indonesia di urutan bawah.

“Dari sisi mutu, Wajar Dikdas dalam keadaan bahaya. Tapi mutu itu kan wilayah abu-abu. Mereka yang menentukan politik anggaran mudah saja pura-pura tak lihat itu,” katanya.

Suyanto faham betul dinamika politik penganggaran pendidikan. Ketika menjabat Rektor UNY, ia diminta Mendiknas Yahya Muhaimin, sahabatnya sejak kuliah di Boston, Amerika Serikat, mengetuai Komite Reformasi Pendidikan pada 1999. Mewakili Pemerintah, komite ini terlibat aktif dalam penyusunan UU Sisdiknas bersama Komisi VI DPR. Ketika tugasnya di KRP tuntas, Suyanto masuk ke birokrasi Depdiknas, atas ajakan Bambang Sudibyo, hingga pensiun sebagai Dirjen Dikdas pada April 2013 lalu. Bambang, pengganti Yahya, dan Suyanto berkawan baik sebagai sesama akademisi-aktivis pada masa-masa menjelang reformasi di Yogyakarta. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh membantah Pemerintah mengabaikan penuntasan Wajar Dikdas. Ia mengklaim, penuntasan terus dikerjakan dan tak ada selesainya karena akan selalu ada pendatang baru di Dikdas. Jumlahnya per tahun sekitar 3 juta anak.

Mantan Rektor Institut Teknologi Sebelas November (ITS) Surabaya yang gemar bercerita ini lantas mengajukan analogi. “Kalau kita punya lima bersaudara, kakak paling tua gak naik-naik kelas, apa adiknya tidak boleh masuk sekolah atau nyalip? Kan tidak?” ujar Nuh ketika ditemui di ruang kerjanya di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, 15 November lalu.

Nuh tengah bicara tentang program andalannya, Pendidikan Menengah Universal (PMU). Menjadi semacam rintisan Wajar Dikdas 12 Tahun, program ini digulirkan lewat kebijakan pengiriman bantuan operasional sekolah (BOS) yang diklaim sukses diterapkan di jenjang SD dan SMP sejak 2005 lalu.

Menangkis tudingan penelantaran kualitas, Nuh menyodorkan tafsirannya atas undang-undang. “Kalau Sampeyan baca di undang-undang, yang disebut hanya layanan Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Kita tidak bisa di undang-undang sebut kualitas harus setara dengan x, y, z. Karena kualitas tidak akan pernah berhenti. Istilahnya continous,” katanya.

Entah Undang-undang apa yang dimaksudkan Nuh, tapi jika menyimak UU Sisdiknas, ada Pasal 11 ayat (1) yang jelas-jelas mewajibkan Pemerintah ‘menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara’. Rincian atas apa yang disebut ‘pendidikan yang bermutu’ ini tentu saja menjadi tugas peraturan di bawah undang-undang dan seorang menteri, seperti Nuh, adalah orang yang paling berwenang merumuskannya.

Meski membantah pengabaian penuntasan Wajar Dikdas, Menteri Nuh secara tidak langsung mengakui keterbatasan anggaran pendidikan. Ini yang membuatnya mau tak mau harus menyusun prioritas.

Hamid Muhammad, Dirjen Dikdas pengganti Suyanto, melihat dengan kacamata lain. Ia mengaku terkejut mendapati betapa keroposnya Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Dari sisi kuantitas, jumlah lulusan SD yang tak lanjut ke SMP masih sekitar 8 persen. Artinya, dari 4 juta lulusan SD per tahun, 320-an ribu di antaranya gagal meneruskan. Belum lagi mereka yang putus di tengah jalan. “Setelah saya bedah, kasihan SD itu,” ucapnya seusai konferensi pers Hari Guru Nasional, 22 November siang, di Hotel Anggrek, Jakarta.  

Menurut Hamid, untuk benar-benar menuntaskan Wajar Dikdas Sembilan Tahun ini, tidak ada cara lain kecuali tetap menjadikannya prioritas pendidikan nasional yang dimulai dengan penyediaan alokasi dana yang besar. Alokasi dana besar mutlak dibutuhkan karena Hamid berpendapat, sama seperti Suyanto, ketuntasan bukan hanya urusan kuantitas, tapi juga kualitas.

“Mutu itu bukan hanya perkara memenuhi fasilitas. Bukan hanya menyekolahkan guru. Harus ada perubahan budaya mengajar, manajemen sekolah. Itu tidak mudah. Kalau fasilitas bisa kita kejar. Tapi bagaimana fasilitas bisa menunjang proses pembelajaran dengan baik, itu masalah sendiri,” paparnya.  

Yang didapati Hamid sekarang jauh benar dari gagasan idealnya. Persentase anggaran untuk Ditjen Dikdas terus menyusut, dan itu menerbitkan sebuah penyesalan. “Kadang-kadang saya ikut bersalah meluncurkan PMU. Habis dulu rasa-rasanya SD-SMP sudah tuntas. Ternyata keropos semua,” ungkapnya.

Sebelum menjabat Dirjen Dikdas, Hamid merupakan Dirjen Pendidikan Menengah. Ia merupakan orang yang menyiapkan pengguliran rintisan PMU pada tahun ajaran 2013/2014 lalu. Begitu PMU dipastikan menjadi program nasional yang menyedot dana besar dari APBN karena diberlakukan di seluruh SMA/SMK di Indonesia mulai tahun ajaran 2014/2015, Hamid digeser ke Ditjen Dikdas. Sebagai pengganti, Nuh menunjuk Achmad Jazidie, koleganya di ITS Surabaya yang ia tarik ke Kementerian pada 2010 lalu.

 

***

Mencermati dinamika penganggaran pendidikan sejak amandemen UUD 1945, Roy Salam, peneliti Indonesia Budget Center (IBC), sampai pada satu kesimpulan: ketiadaan komitmen negara, dalam hal ini Pemerintah dan DPR,  untuk memprioritaskan pengembangan pendidikan. Riwayat panjang upaya pemenuhan amanat alokasi minimal 20 persen APBN/APBD justru lebih kental nuansa politiknya daripada kesungguhan segenap elemen bangsa mencapai cita-cita yang sama.

Ketiadaan komitmen inilah yang, menurut Roy, membuat setiap Pemerintahan berkuasa, dari manapun asal partai politiknya, selalu berkelit menyediakan dana besar bagi pendidikan. “Karena pendidikan itu investasi jangka panjang. Kita yang memuIai program, bisa-bisa orang sesudah kita yang memetik hasilnya. Ini tidak bagus untuk investasi politik yang siklusnya hanya lima tahunan. Jelas, pendidikan bakal selalu kalah bersaing dengan pengembangan ekonomi, dengan perbaikan infrastruktur,” ujar Roy yang juga aktif di Koalisi Pendidikan, ketika dihubungi 3 Desember lalu, di Jakarta.

Dengan logika semacam ini, bisa dijelaskan mengapa PDI Perjuangan resisten selama perumusan amandemen UUD 1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, mengapa justru orang-orang Golkar, parpol yang tersingkir bersama Orde Baru, terlihat paling ngotot menggolkannya. Dengan logika yang sama, dapat dijelaskan mengapa Pemerintahan berikutnya, ketika Golkar kembali ke lingkaran kekuasaan, memilih pindah haluan menyepakati pemretelan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.

Roy berpendapat, keterbatasan kemampuan keuangan tidak sepantasnya dijadikan alasan menunda atau bahkan mengabaikan permrioritasan pengembangan pendidikan. “Banyak cara bisa dipilih Pemerintah. Mereka bisa lakukan negosiasi utang, menggenjot pajak, memberantas korupsi. Kenapa berjuangnya tidak di situ? Kenapa justru mengakal-akali amanat 20 persen itu?” ucapnya.

Mohamad Surya menilai, negara selama ini memegang prinsip keliru. Pembangunan ekonomi didahulukan dari pengembangan pendidikan. Padahal, ia meyakini, justru pendidikan yang harusnya jadi titik berangkat. Pendidikan meningkat, tenaga kerja bermutu, ekonomi meningkat. “Apakah mendidik harus menunggu ekonomi baik? Tidak. Semiskin apa pun, pendidikan harus tetap jalan,” katanya.

Anwar Arifin, yang turut membidani rumusan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas untuk kemudian menyaksikannya sekarat di meja MK, menyebut ajuan gugatan uji materi ayat pengecualian gaji pendidik sebagai puncak khianat negara lewat persekongkolannya dengan pengacara. Ia menyebut terkabulkannya gugatan ini sebagai keanehan yang tak lagi menjadi aneh karena keganjilan serupa terlalu sering terjadi di Indonesia. “MK itu kan maha kuasa,” sindir Arifin.

Benar kata Arifin. Bahkan setelah Ketua-nya tertangkap tangan menerima suap, MK tetaplah ‘maha kuasa’.  Orang bisa belasan tahun berdebat tentang kebenaran putusannya, tapi tak ada satu pun yang bisa dilakukan untuk mengubahnya.***

 

 

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (8)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (8)

Mengapa (bukan) Kalla

 

Sulit bagi Mohamad Surya untuk memahami gugatan uji materi Pasal (49) Ayat (1) UU Sisdiknas semata-mata urusan kesejahteraan guru dan dosen. Karena itu, sulit pula baginya mengamini tindakan heroik trio Sulawesi Selatan: Rahmatiah, Badryah, dan Ali Abbas.

Mantan orang nomor satu di PGRI tersebut bahkan menyebut putusan MK sebagai kecelakaan. Sebuah kecelakaan yang fatal karena imbas buruknya harus dipikul masyarakat luas hingga sekarang.

“Tak ada pengaruhnya gugatan ini dengan kesejateraan guru. Seolah-olah jika dikecualikan dari alokasi minimal 20 persen, kesejahteraan pengajar tidak terjamin. Seolah negara bisa mengelak bertanggung jawab. Bukan begitu logikanya,” ujar Surya ketika ditemui di kantor DPD RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, Jalan Mundinglaya 12, Kota Bandung, 21 Oktober siang.

Surya, yang menceburkan diri dalam kepengurusan PGRI sejak akhir 1950-an, mengerti betul seluk-beluk kesejahteraan pendidik, terutama guru. Dipercaya sebagai Ketua Umum selama dua periode, 1998-2008, ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas unjuk rasa besar-besaran yang pertama kalinya dilakukan oleh kelompok pendidik ini pada 18 April 2000 lalu. Tak kurang dari 30 ribu guru mengepung kompleks DPR/MPR dan Istana Negara, Jakarta.

Masyarakat tercengang. Guru yang selama puluhan tahun tunduk sebagai objek Pemerintahan represif zaman Orde Baru, ternyata bisa turun ke jalan dan berteriak-teriak kencang menuntut perbaikan kesejahteraan. “Kalau ada satu saja guru yang celaka ketika itu, sudah, bakal digantung saya,” kenang Surya.

Surya percaya, ada kepentingan lain yang menunggangi ajuan gugatan ke MK, bersembunyi di balik niat mulia memperjuangkan kesejahteraan guru. Ia mencermati dinamika politik penganggaran dalam tahun-tahun kritis itu dan segera mengetahui bahwa Pemerintah sendirilah yang jadi penumpang gelap.

Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah lama membuat gerah Pemerintah. Sejak disahkan pada 2003, mereka selalu gagal memenuhi amanatnya. Akibatnya, tekanan bertubi-tubi dialamatkan kepada Pemerintah. Dari DPR, muncul Kaukus Pendidikan yang disokong 200 anggota. Meski membantah kaitan gerakan ini dengan upaya pemakzulan, Ketua Kaukus Pendidikan Slamet Effendi Yusuf tak menyangkal bahwa mereka memang bertujuan memberi banyak tekanan pada Pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi. “Kami menagih komitmen. Penganggaran pendidikan ini soal mau atau tidak mau,” katanya.

Tekanan lebih kuat diberikan gerakan masyarakat sipil lewat tiga kali ajuan gugatan uji materi UU APBN tahun 2005-2007. Tiga putusan MK yang menyatakan inkonstitusionalitas ketiga UU APBN itu telah membuat panas situasi politik karena yang dilanggar Pemerintah bukan main-main, melainkan konstitusi sendiri. Berseliwerannya isu pemakzulan tak dapat dihindari lagi. Surya mengaku telah beberapa kali mengkomunikasikan persoalan ini ke Presiden langsung. Salah satunya yang ia ingat terjadi pada Peringatan Hari Guru Nasional di Pekanbaru pada 25 November 2007.

“Ketika itu saya sampaikan: ‘Pak, ini 2007. Bapak mau maju lagi. Gugatan uji materi UU APBN yang dimenangkan di MK itu perkara serius lho’,” ujar Surya.

Apa jawaban SBY? “Beliau hanya berdehem sambil mengangguk-anggukkan kepala.”

Yang tercatat kemudian, Presiden SBY menggunakan panggung untuk panjang-lebar berpidato membahas topik kesejahteraan guru. Ia mengaku telah meminta jajarannya agar bersama-sama dengan DPR ‘merumuskan agar kenaikan anggaran pendidikan disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru’.

Ketika SBY berdehem sambil mengangguk-anggukkan kepala di Pekanbaru itu, sidang gugatan uji materi Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah bergulir di MK. Surya tidak melihatnya terpisah dari dinamika politik penganggaran pendidikan dalam penyusunan APBN selama tiga tahun belakangan. Orang-orang Sulawesi Selatan yang diboyong ke ruang sidang dengan peran mereka masing-masing mengerucutkan tudingan Surya ke satu sosok sentral di Pemerintahan: Jusuf Kalla, sang Wakil Presiden!

“JK tak suka dengan kalimat itu (pengecualian gaji pendidik). Saya tahu persis, di berbagai forum ia selalu omong. Katanya, anggaran belum mampu,” ucap lelaki kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 8 September 1941 yang saat ini masih tercatat menjabat sebagai anggota DPD tersebut.

Surya tidak sendirian menuding Pemerintah dan Kalla. Abdoel Aziz Hoesein, Soedijarto, Jimly Asshiddiqie, dan masih banyak lagi tokoh melakukan hal yang sama. “JK selalu bilang, ‘You gimana. Duit habis buat pendidikan. Itu harus termasuk gaji dong’. Karena beliau orang pinter, beliau gerakkan ini. Keputusan yuridis harus dilawan dengan keputusan yuridis. Beliau tahu persis itu,” ujar Aziz Hoesein.

Soedijarto juga terang-terangan menyebut Kalla. “Saya tahu di belakangnya ada Pak JK. Ia memang paling lihai. Ada dua kebijakannya yang paling membuat saya kecewa: gugatan ini dan Ujian Nasional,” tuturnya.

Tudingan bahkan datang dari Anwar Arifin, bekas anak buah Kalla di Golkar yang mengetuai Panja RUU Sisdiknas. Topik kesejahteraan guru, ia yakini, hanyalah bagian dari siasat. Tujuan utama gugatan yang sebenarnya adalah pemenuhan amanat konstitusi menyediakan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN. Pemenuhan ini penting segera dilakukan untuk menjaga kredibilitas Pemerintah sekaligus meredam isu pemakzulan menjelang tahun politik 2009. “Sebagai Wapres, JK memikirkan itu. Tentu ia berpikir menyelamatkan Pemerintahannya,” ucap Arifin yang tersingkir dari Partai Beringin sejak Pileg 2009, setahun setelah proses gugatan di MK.

Jimly menyebut gugatan rekayasa ini sebagai bagian dari pertarungan idenya dengan Kalla perihal penganggaran pendidikan sejak proses amandemen UUD 1945, dilanjutkan penyusunan UU Sisdiknas. Puncaknya terjadi pada Agustus 2008, enam bulan setelah putusan pengguguran Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas itu. Tepatnya pada 13 Agustus, MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan PGRI. UU APBN 2008 dinyatakan inkonstitusional karena gagal menyediakan anggaran pendidikan 20 persen. Putusan itu juga memaksa pemenuhan amanat konstitusi dilakukan sejak APBN 2009. Dari sinilah masalah besar muncul.

“Pidato Presiden yang disiapkan untuk 16 Agustus sudah dicetak dan besaran anggaran pendidikan tidak 20 persen. Harus dirombak. Seluruh kabinet ribut. Tak bisa tenang, dari presiden sampai direktur kacau selama seminggu. Itu juga yang menyebabkan mereka ngamuk. Saya tak boleh dipilih lagi jadi ketua MK. Ada operasi,” ungkap Jimly.

Jimly mengaku sebenarnya berniat tak mencalonkan lagi jadi hakim konstitusi setelah periode pertamanya usai, tapi parpol-parpol besar membujuknya. Pada 16 Agustus, ia dilantik bersama beberapa hakim baru pengganti mereka yang pensiun. Pada 19 Agustus, dilakukan pemilihan ketua. Jimly kalah oleh Mahfud M.D., sang pendatang baru. “Tiga hari itu direkayasa. Ada JK di sana. MK itu berhasil dalam lima tahun. Tiba-tiba orang baru muncul dan menang,” tutur Jimly yang akhirnya memilih mengundurkan diri dari MK dua bulan berselang.

Orang-orang ini yakin, bukan Kalla yang menganggukkan kepala terhadap inisiatif Ali Abbas, pengacaranya. Justru sebaliknya yang terjadi. Sama seperti ketika membela kepentingan bisnis keluarga Kalla, sama seperti ketika membela Kalla dari tuntutan Gus Dur, kali ini pun Ali yang mengangguk.                                                                                       

 

***

Tak sulit melacak jejak ketidaksetujuan Kalla atas rumusan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas. Penolakannya terhadap rumusan anggaran pendidikan yang mengecualikan gaji guru dan pendidikan kedinasan terekam di banyak media. Salah satunya yang mencolok adalah omongannya pada Senin 20 Agustus 2007, hampir tepat sebulan sebelum pengajuan gugatan uji materi di MK.

Kantor Berita Antara mencatat ketika itu Kalla tengah memberikan pengarahan kepada 80 guru yang hendak berangkat studi banding ke negara ASEAN. Dipaparkannya kontradiksi antara capaian Pemerintah dalam menaikkan secara signifikan anggaran pendidikan selama tiga tahun terakhir dengan kesejahteraan guru. Bahasan yang arahnya sama persis dengan pidato Presiden SBY di Pekanbaru.

“Dalam UU, gaji guru tidak masuk dalam kategori anggaran pendidikan. Kalau tidak masuk kan justru tidak seimbang, dimana sekolah bisa mewah tapi gaji guru tidak masuk dalam kenaikan itu,” sesal Kalla.

Kalla lantas mengemukakan ketidakmampuan APBN dalam menopang tuntutan alokasi anggaran pendidikan yang demikian besar. “Itu bisa saja kita nekat naikkan, sekarang kita penuhi anggaran 20 persen itu, tetapi harus memotong anggaran lain, misalnya anggaran kesehatan, PU,” katanya.

Tempo, dalam situs online mereka, juga merekam omongan Kalla dalam peristiwa yang sama. “Jadi perlu dipikirkan juga kalau gaji guru ini masuk ke anggaran pendidikan,” kutip Tempo.

Salah seorang bekas elite Partai Golkar mengungkapkan, sejak menjabat Wakil Presiden dan kemudian Ketua Umum Partai Golkar pada akhir 2004, Kalla berulang kali mengutarakan keberatannya atas alokasi dana pendidikan 20 persen ini kepada para anggota partai. Dalam sebuah rapat tak lama setelah terpilih, ia ingat betul, Kalla bilang angka itu tidak masuk akal karena bakal terus membesar.

“Seluruh peserta diam. Hanya Slamet Effendi Yusuf yang berdiri, bilang bahwa usul 20 persen itu yang dorong Partai Golkar dan telah jadi keharusan konstitusi. JK jawab: ‘Gampang, UUD diamandemen saja’,” ucapnya ketika ditemui pertengahan November lalu di Jakarta.

Slamet Effendi, ketika dikonfirmasi, tidak membantah sekaligus tidak membenarkan kesaksian ini. “Jangan dari saya,” katanya.

Kalla berhasil dua kali dimintai konfirmasi setelah sebulan lebih permintaan bertemu terkendala kepadatan jadwalnya. Pertama, Ketua PMI itu dicegat di kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Senin, 18 November 2013. Sehari setelahnya, lewat salah satu orang kepercayaannya, ia menyediakan waktu selama 10-an menit untuk ditelepon. Dalam dua wawancara itu, Kalla tak menyembunyikan ketidaksetujuannya terhadap ayat pengecualian gaji pendidik dalam UU Sisdiknas tersebut.

“Ini bahaya. Anggaran pendidikan naik terus, sementara guru tidak masuk bagian yang naik itu. Kasihan guru. Kalau gaji masuk belanja PNS, ya segitu-segitu saja. Kalau masuk 20 persen itu, ia dapat tunjangan,” kata Kalla yang turut menandatangani pengesahan UU Sisdiknas sebagai Menko Kesra pada 2003 lalu.

Pengecualian gaji guru juga dinilai Kalla telah menyalahi definisi pendidikan secara utuh sebagaimana dinyatakan MK dalam pertimbangan putusan mereka. “Inti pokoknya, guru apakah bukan bagian pendidikan? Guru adalah sokoguru pendidikan. Tidak adil kalau justru dikecualikan,” ucapnya.  

Meski secara terbuka mengakui ketidaksetujuannya, Kalla mengelak dari semua kecurigaan dan tudingan yang menyebutnya sebagai orang di balik gugatan uji materi ayat pengecualian itu.  Keterlibatan orang-orang asal Sulawesi Selatan, termasuk pengacara kepercayaannya Ali Abbas, tak lantas membuatnya menyerah masuk kotak. “Kenapa memang kalau Ali Abbas yang gugat? Boleh-boleh saja kan ia,” tuturnya.

Mengulang skenario yang disampaikan Ali, politikus kawakan itu memposisikan diri sebatas menganggukkan kepala. “Ali Abbas datang, tanya. Saya sependapat bahwa gaji guru masuk pendidikan,” ujar Kalla yang mendeskripsikan pengajuan gugatan ini sebagai tindakan ‘mencocokkan saja UU dengan UUD’.

Kalla bersikeras, tak ada motif titipan Pemerintah dalam ajuan gugatan ke MK. Dua kali ditanya, ia menyebut kemampuan negara memenuhi alokasi dana pendidikan minimal 20 persen sejak APBN 2009 sebagai imbas, bukan tujuan. “Itu otomatis saja, imbasnya. Karena gaji guru masuk, anggaran pendidikan bisa 20 persen,” katanya.

Perihal aksi balas dendam menyingkirkan Jimly dari kursi ketua MK, Kalla juga mengajukan bantahan. Ia mengaku tak mencampuri urusan pemilihan. “Yang pilih kan mereka sendiri, sembilan orang hakim itu. Saya tidak terlibat apa-apa,” tuturnya.

Penyangkalan jejak Kalla, tak mau kalah jumlah dari tudingan keterlibatannya, berdatangan. Ali Abbas bukan hanya pasang badan sebagai pemilik inisiatif gugatan. Dalam wawancara kedua akhir November lalu, ia buru-buru membantah kedekatan hubungan antara Kalla dengan almarhum Arifin Soeria Atmadja, salah satu saksi ahli yang ia klaim ia pilih sendiri. Ali mengaku tak tahu dan tak ingat lagi dukungan yang diberikan mantan Wapres itu untuk sebuah penelitian yang dilakukan Arifin di Malaysia tak lama setelah putusan sidang MK, Februari 2008. Padahal dalam wawancara tiga pekan sebelumnya, ia sendiri yang mengungkap dukungan Kalla. “Didukung Pak JK. (Penelitiannya) Tentang apa, saya lupa,” ujarnya ketika itu.

Andi Mattalatta, yang membacakan sikap ganjil Pemerintah dalam sidang, memilih tak mau memastikan peran Kalla dalam gugatan ini. “Saya tidak tahu. Saya tidak punya kompetensi untuk menjawabnya,” ujarnya seraya menjanjikan pengakuan blak-blakan nanti sesudah genap 10 tahun tak lagi menjabat menteri.

Laica Marzuki kelihatan kesal ketika ditanya perihal tudingan keterlibatan Kalla. “Bung membuat reportase jangan gitu. Tolong jangan memfitnah macam-macam. Kasihan Pak JK,” tulisnya lewat pesan pendek.

Senin siang itu Kalla tengah menunggu kedatangan Hary Tanoesoedibjo, bos MNC Group sekaligus calon wakil presiden dari Partai Hanura, yang hendak menyalurkan bantuan untuk korban Badai Haiyan di Filipina lewat PMI. Para wartawan ramai-ramai mengorek keterangan seputar kesaksiannya dalam penyelidikan skandal Bank Century di KPK serta isu pencalonannya sebagai presiden oleh PKB di pilpres nanti. Kematangan dan kelincahannya berpolitik membuat nama Kalla awet diperhitungkan sebagai salah satu tokoh nasional paling berpengaruh hingga hari ini.

Kalla boleh membantah tudingan sebagai inisiator gugatan ke MK, tapi ia, sebagai Wakil Presiden ketika itu, mengakui memberikan kata sepakat. Pertanyaannya sekarang, sebesar apa sesungguhnya dampak gugatan uji materi sarat keganjilan yang disepakati Kalla dan yang dikabulkan oleh MK ini terhadap ketertinggalan capaian pendidikan nasional kita sehingga tak sedikit orang yang mengutuknya, meminjam istilah Mohamad Surya, sebagai sebuah kecelakaan?***

 

 

 

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (7)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (7)

Siasat Sang Advokat

 

Ditemui di ruang kerjanya di lantai dua Kantor Pusat PT. (Persero) Kawasan Berikat Nusantara, awal November lalu, Ali Abbas tampil trendi dan segar. Rompi yang melapisi kemeja kotak-kotak biru serasi benar dengan celana panjang dan sepatu kulit warna coklat tuanya. Warna putih yang telah menyapu seluruh helai rambut kepala dan merambat ke sebagian alis tak sanggup memaksanya kelihatan renta di awal usia kepala tujuh.

Oleh BUMN yang beroperasi di kawasan macet dan berdebu di Jalan Raya Cakung-Cilincing, Jakarta Utara itu, Ali disewa sebagai advokat perusahaan dengan durasi satu tahun per April lalu. Jadwal padat menunggunya. Di papan putih yang tertempel di dinding tak jauh dari meja kerja, tertulis empat agenda sidang di PTUN Jakarta yang harus ia hadiri dalam tiga pekan ke depan.

Diajak bicara tentang gugatan uji materi Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas di MK enam tahun lalu, Ali menyambut dengan tangan terbuka. Tanpa berbelit ia mengaku bahwa ia yang meminta Rahmatiah, adiknya, maju sebagai Pemohon Pertama. Rumahnya di Kompleks Gema Pesona Estate, Depok, ia sediakan sebagai tempat singgah sebelum bersama-sama berangkat ke MK.

Lewat sang istri, Nurhayati, Ali lantas meminta Badryah menjadi Pemohon Kedua. Nurhayati dan Badryah sama-sama guru besar Unhas yang bersahabat sejak pertengahan 1970-an. Profesi Badryah sebagai dosen PNS, melengkapi profesi guru PNS yang dimiliki Rahmatiah, tepat dipakai untuk memenuhi kedudukan hukum pemohon karena ayat yang digugat menyasar pendidik. “Kan gak enak saya suruh dia (Nurhayati) yang gugat. Gak enak lah,” ucap Ali.

Hasil sempurna di MK dirancang Ali secara matang. Untuk saksi ahli, dipilihnya dua akademisi mumpuni: Arifin Soeria Atmadja dan Satya Arinanto. Keduanya guru besar Fakultas Hukum UI, sama seperti Jimmly Asshiddiqqie. Satya bahkan pernah bekerja bersama Jimmly dalam Tim Ahli Hukum dan Politik bentukan MPR selama proses amandemen UUD 1945.

Arifin meninggal Agustus lalu, sementara Satya tidak bersedia menyediakan waktu untuk wawancara. Perihal peran dan pemikirannya selama proses uji materi di MK, ia merasa apa yang tertulis di risalah sidang sudah lengkap. “Dari saya cukup itu saja,” tulisnya lewat pesan pendek ketika tengah berada di luar negeri, pertengahan November lalu.

Yang tak ketinggalan disiapkan Ali adalah sebuah tim pengacara yang tangguh. Lewat Zujan Marfa, keponakannya, ia berhasil menggandeng Elza Syarief untuk menjadi ketua. Zujan merupakan salah satu asisten kepercayaan Elza. Dalam tim keroyokan ini, selain adik Ali, Asmaun Abbas, turut bergabung Triharso Utomo, Syamsul Huda, dan Suniati.

Nama dan reputasi Elza tengah meroket ketika itu. Advokat bekas anak buah pengacara senior O.C Kaligis ini menangani banyak kasus yang melibatkan keluarga Cendana. Pada Agustus 2007, berbarengan dengan dimulainya sidang di MK ini, Elza memimpin tim pembela Hutomo “Tommy” Mandala Putra, komisaris PT. Goro Batara Sakti, menghadapi Perum Bulog dalam kasus tukar guling gudang Bulog seluas 150 hektare di Marunda, Jakarta Utara. Akhir perkara ini menjadi kisah sukses bagi Elza, dan juga Ali yang turut tergabung dalam tim pembela, setelah PN Jakarta Selatan menolak semua gugatan Bulog dan malahan mengabulkan gugatan balik Tommy yang menuntut ganti rugi imaterial Rp 5 miliar.

Melabeli Ali sebagai “teman baik”, Elza bersedia membantu tanpa menarik sepeser pun biaya untuk jasanya. Kepiawaiannya bersilat lidah terbukti ampuh di ruang sidang sebagaimana ia ceritakan kembali. “Saya ingat, seorang pejabat kementerian berapi-api menentang. Saya lawan pakai beberapa kata, lemes ia,” ujarnya diikuti derai tawa ketika ditemui Jumat (25/10) lalu di kantor hukumnya di sudut Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat.

Sepanjang hari itu Elza seperti tak kehabisan tamu, mulai dari rombongan koleganya di Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) hingga antrean klien. Tercatat tak kurang dari 20 perkara di pengadilan, di luar sidang kasasi, yang sedang ditangani kantor hukumnya. Salah satunya, perkara kakap yang mendapat sorotan luas secara nasional dalam dua tahun terakhir: megakorupsi Nazarrudin.

Dalam pemikiran Elza, aturan mengeluarkan gaji guru dari alokasi minimal 20 persen ibarat vonis bersalah bagi guru. Padahal, sama persis dengan pengakuan Ali Abbas, dia percaya bahwa guru merupakan komponen utama pendidikan. Kesejahteraan mereka harus dijamin karena “tidak bisa nunggu sebulan gak makan”.

“Jangan salahkan guru. Ya ampun, mereka itu manusia! Mereka yang bertanggung jawab membentuk manusia. Apa arti gedung kalau diisi orang tidak bermoral? Di emperan, asal ada atap, (orang) bisa belajar,” kata Elza.

Elza membantah semua tudingan yang menyebut perkara ini penuh rekayasa. Penolakan dari PGRI, organisasi guru terbesar, dia nilai tak lantas membuat gugatan ini ganjil. Suara PGRI selama persidangan hanyalah suara elite-nya saja. Mereka yang, menurut Elza, bercokol terus menikmati kesejahteraan karena memiliki jaringan dan kesempatan memanfaatkan organisasi untuk memperoleh uang lebih.

“Elite PGRI dulunya guru, tapi belum tentu ingat dengan nasib guru. Sama saja Anda lihat anggota DPR/DPRD yang dulunya rakyat. Setelah dapat kesejahteraan, apa (mereka) masih ingat rakyat?” ujar Elza yang setahun setelah putusan perkara ini berkompetisi dalam Pemilihan Legislatif lewat Partai Hanura, namun kandas di ruang sidang MK.

Dengan cerdik, pengacara kelahiran Jakarta 24 Juli 1957 ini juga menangkis tudingan Jimmly perihal adanya rekayasa. “Saya tidak kenal Pak Bambang (Mendiknas Bambang Sudibyo), tak kenal Pak JK. Di MK, (saya) juga tidak kenal siapa-siapa, tidak dapat duit. Kalau lihat rekayasa, kenapa Pak Jimmly kabulkan?” ucapnya.

Melengkapi kecerdikannya, Elza balik bertanya di ujung wawancara. “Kok baru sekarang ada curiga-curiga sih? Kenapa? Saya jadi curiga juga. Selama ini (saya) polos-polos saja,” ujarnya.

Entah kepolosan seperti apa yang dimaksudkan Elza sebab sulit mengamini kalau dia tidak mengenal Kalla setelah berulang kali berkolaborasi dengan Ali Abbas. Lagipula, bukankah dia bergabung dengan Hanura yang pada tahun-tahun tersebut merintis koalisi dengan Golkar untuk mengusung pasangan Kalla-Wiranto untuk pilpres 2009? Dalam hajat politik ini, Elza dan Ali kembali berkongsi untuk memperkuat tim hukum. Keduanya membawa kekalahan pasangan jagoan mereka ke MK, tapi gagal mengulang kesuksesan uji materi UU Sisdiknas.

Bantahan Elza tak jauh beda dengan kegemarannya memakai sandal jepit ketika berkantor yang tetap saja gagal menyembunyikan penampilan modisnya. Memiliki kulit putih, Elza tahu benar bahwa sapuan blush on warna merah pada tulang pipi bakal membuatnya nampak segar. Dia juga faham betul bagaimana cara menyapukan blush on itu agar membuat wajah bulatnya terkesan lonjong: jangan sekali-kali mendekati hidung! 

 

***

Hampir mustahil membicarakan Ali Abbas tanpa menyertakan sosok Jusuf Kalla. Perkenalan keduanya terjadi pada awal 1970-an ketika sama-sama menceburkan diri dalam bisnis angkutan di Kota Makassar. Ali seorang lulusan Sekolah Hakim dan Djaksa Makassar dengan mengambil spesialisasi hakim, sedangkan Kalla, yang dideskripsikan Ali sebagai pemuda “cakap dan tajam pemikirannya”, merupakan pewaris kerajaan bisnis Kalla Group.

Kedua pemuda sebaya ini semakin akrab setelah sama-sama aktif dalam berbagai organisasi, mulai dari Organda hingga Kadin. Ketika Ali mulai mengajar di Fakultas Hukum Unhas, keduanya bertemu lagi di wadah HMI. Kalla, kelahiran Bone, 15 Mei 1942, menjabat ketua HMI Cabang Makassar, Ali mengetuai organisasi yang sama di fakultasnya.

Ketika Ali memutuskan berhenti sebagai dosen untuk sepenuhnya merintis karier advokat pada awal 1980-an, mulailah babak baru hubungan keduanya. Kalla, yang secara gemilang berhasil memperluas lini bisnis keluarganya, mempercayakan seluruh urusan hukum perusahaan ke kantor hukum milik karibnya itu. Ali berangsur menjadi salah satu pengacara paling disegani di Makassar.

Masuknya Kalla ke pusaran politik nasional pada 1999 membuka pintu bagi Ali untuk melebarkan reputasinya di Ibu Kota. Pada 2003 Ali tercatat sebagai satu dari 63 calon Hakim Agung yang diloloskan Komisi Hukum DPR dalam seleksi persyaratan administratif meski akhirnya gagal di uji kepatutan dan kepantasan. “Dimintai Rp 25 juta, saya tidak mau,” ungkapnya.

Ali selalu bisa diandalkan. Perannya jelas terlihat di salah satu kasus terpenting yang pernah dihadapi Kalla: gugatan hukum yang dilayangkan Gus Dur, mantan presiden yang membawanya ke Jakarta. Gugatan pidana dan perdata ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 Mei 2007. Merasa dicemarkan nama baiknya, Gus Dur menuntut besaran ganti rugi yang tak main-main, mencapai Rp 1,1 triliun. Jumlah yang cukup untuk menggoyang kerajaan bisnis Kalla.

Perseteruan bermula dari pemberitaan isi pidato Kalla, yang ketika itu menjabat Wakil Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, di hadapan forum pengkaderan mahasiswa Golkar di Cibubur pada 9 April 2007. Ketika itu Kalla mengaku dirinya pernah dimintai uang oleh Gus Dur semasa menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan merangkap Kepala Bulog dalam kabinet bentukan Gus Dur. Menolak permintaan atasannya itu, Kalla lantas diberhentikan.

Yang diketahui publik, perseteruan ini berujung pada kesepakatan damai antara kedua tokoh nasional tersebut pada 11 Juli 2007. Di lantai dua Hotel Four Seasons, Jakarta, mereka bertatap muka sekitar 15 menit. Gus Dur dan Kalla saling memaafkan. Gugatan di pengadilan dicabut sepekan setelahnya.

Yang tak banyak diketahui orang adalah peran sentral Ali Abbas dalam kesepakatan ini. Ia-lah orang yang mengambil inisiatif pertama. “Saya panggil lawyer Gus Dur, (saya) suruh agar kedua tokoh ini ketemu langsung,” ujarnya.

Selama lebih dari 40 tahun mengenal Kalla, Ali mengingat, sedikit sekali berseberangan pendapat dengan pemikiran dan capaian karibnya yang cekatan bertindak tersebut. Satu dari yang sedikit itu adalah sikapnya atas kebijakan yang diambil Kalla ketika dipercaya sebagai juru damai Pemerintah dengan GAM. Dalam keyakinan Ali, pemberontak harus menyerah atau ditumpas. Sama seperti Kahar Muzakar, juga Kartosuwiryo. “Bagaimana caranya pemberontak dikasih tanah, diberi partai?” protesnya.

Gugatan uji materi UU Sisdiknas ke MK adalah perkara istimewa. Ali buru-buru pasang badan, mengaku merancang semuanya untuk alasannya sendiri meski ia mengerti orang akan dengan mudah mengarahkan tudingan ke Kalla, Wakil Preside ketika itu. “Mungkin (gugatan) ini sejalan dengan kepentingan Pemerintah, tapi yang utama kepentingan guru dan dosen. Ini gugatan personal,” katanya.

Menanggalkan kacamata, kebiasaannya setiap kali hendak memulai sebuah cerita panjang, Ali berkisah tentang keluarga besarnya di Sengkang yang ia sebut sebagai “keluarga guru”. Ayahnya, Abbas Umma, seorang pengawas sekolah. Dua dari sembilan saudaranya berprofesi guru. Salah satunya Rahmatiah. Paman dan beberapa keponakannya juga guru. “Tahu betul saya kehidupan guru,” ujarnya.

Kehidupan guru yang diketahui Ali bukanlah kehidupan yang enak didengar. Ia mendapati  Rahmatiah sering menangis melihat gaji teman-teman gurunya terlambat datang. Transfer gaji mereka dipakai untuk menutupi keuangan daerah akibat pendapatan yang rendah. Kesejahteraan masih terlalu jauh dari jangkauan para pendidik ini. “Berapa guru naik mobil ke sekolah? Mungkin hampir tak ada,” ucap Ali.

Gugatan uji materi dianggap Ali sebagai langkah yang harus diambil untuk mengubah keadaan ini. Ia yakin betul guru merupakan unsur utama pendidikan, bukan gedung dan berbagai fasilitas fisik. “Tidak bisa alokasi 20 persen itu dipakai untuk komputer, AC, dan fasilitas belajar lengkap, tapi yang mengajar tidak sejahtera,” tuturnya.

Meski pasang badan sebagai pemilik gagasan menggugat di MK, Ali mengaku mengkomunikasikan keinginannya tersebut kepada Kalla. Menurut Ali, ini bagian dari adat orang Bugis. Sowan ke yang lebih dituakan setiap kali ada sesuatu yang penting.

“Saya tanyakan: ‘Pak JK, apa tak tersinggung Pemerintah kita gugat? Ini kan melawan Pemerintah dan DPR?’ Malah beliau senang,” ujar sang advokat.

Benarkah peran Kalla ketika itu hanya menganggukkan kepala?***

 

 

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (6)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (6)

Balada Rahmatiah dan Badryah

badryah rifai 2

Entah apa yang ditakutkan Rahmatiah Abbas sehingga dia menghilang sepanjang Selasa (26/11) itu. Rumah panggung dengan halaman yang asri miliknya di Jalan Asoka 157, Kecamatan Sengkang, dibiarkan lengang dengan pintu utama lantai dasar terbuka. Sebuah mobil teronggok di dekat pintu. Dua sepeda motor plat merah terparkir di dalam.

Raungan pompa air dari belakang rumah justru menambah kelengangan. Tanpa henti ia mengalirkan air ke dalam kolam beralas terpal berukuran 4×5 meter di pojok lantai dasar. Setiap satu jam datang seorang lelaki berumur 40-an tahun menghidupkan satu lagi pompa untuk mengalirkan air di dalam kolam ke tangki ukuran besar yang ia angkut dengan kendaraan bak terbuka. Air ini kemudian dijual berkeliling ke rumah-rumah penduduk.

Para tetangga yakin, Rahmatiah pergi tak jauh. Kalau tidak menimang cucunya di rumah salah satu anaknya, masih di kecamatan yang sama, dia tengah mengajar. “Setelah pensiun, Bu Guru sekarang juga jadi dosen di Akbid,” kata Saidah Bassarewan yang tinggal persis di sebelah rumah Rahmatiah.

Saidah, perempuan kelahiran Dili 59 tahun lalu. Kerusuhan pascareferendum di Timor Leste, ketika itu Timor Timur, memaksanya bereksodus bersama ribuan warga Dili lainnya. Sejak 2000, Saidah tinggal di Sengkang dengan menggantungkan penghasilan dari keterampilannya menjahit.

Sengkang merupakan pusat keramaian Wajo, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, sekitar 190 kilometer dari Kota Makassar. Lewat Maros, belasan kilometer pertama perjalanan ke daerah penghasil tenun sutera itu menawarkan pemandangan menakjubkan berupa deretan bukit karst hijau yang menjadi bagian Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kontras benar dengan pemandangan di puluhan kilometer terakhir. Semrawut ratusan lembar poster dan spanduk berbagai ukuran di pinggiran jalan mempertontonkan senyum kaku para pencari kerja di laga pemilihan legislatif awal April nanti.

Akademi Kebidanan Prima, kampus dengan halaman gersang yang ditunjukkan Saidah, berada sedikit di luar pusat kecamatan. Di ruangan pengajar di lantai dua, duduk sendirian Syamsiah Abbas, sang direktur. Air mukanya cerah ketika mengetahui kedatangan seorang wartawan dari Jakarta yang hendak mewawancarai Rahmatiah. Di mata Syamsi, Rahmatiah merupakan seorang pahlawan yang telah berjasa memperjuangkan kesejahteraan guru lewat gugatannya di MK. “Ya, ya, Tiah itu kakak saya,” katanya bangga.

Di Akbid, Rahmatiah tercatat sebagai dosen pengampu mata kuliah umum Pancasila yang diberikan sebanyak dua SKS untuk para mahasiswi semester pertama. Syamsi-lah yang memberinya pekerjaan pengusir kebosanan masa pensiun ini.

Mengetahui Rahmatiah gagal ditemui di rumah, Syamsi lantas berinisiatif membantu mencari keberadaan kakaknya itu dengan menghubungi nomor telepon selulernya. Keduanya berbincang serius dalam Bahasa Bugis dengan volume suara yang makin lama makin mengecil. Tiga menit berselang, ekspresi wajah Syamsi berubah. Senyum ramahnya jadi kecut.

“Maaf, kakak saya barusan bilang dia sedang di Makassar. Ada kerabat yang meninggal,” ujarnya kemudian.

“Sejak kapan, Bu?”

“Kemarin.”

“Kemarin?”

Syamsi mengangguk. Ragu.

“Tapi saya lihat tadi mobil beliau ada di rumah.”

Syamsi sedikit kaget mendengarnya, lalu buru-buru menguasai diri.

“Beliau biasa sewa mobil. Bayar orang buat sopir juga.”

“Boleh saya berbicara sebentar lewat telepon, Bu?”

Lagi-lagi Syamsi gelagapan.

“Maaf ya Dik sepertinya tidak bisa. Beliau lagi sibuk. Tidak bisa diganggu. Maklum di tempat duka,” ucap Syamsi yang terlihat tak nyaman di sepanjang wawancara.

Keterangan Syamsi bertolak belakang dengan kesaksian Saidah dan dua tetangga yang tengah berbincang di ruang jahitnya. Dengan mata kepalanya sendiri, mereka melihat Rahmatiah meninggalkan rumah sekitar pukul depalan pagi. Dia dibonceng sepeda motor oleh suaminya, Sirajuddin Tajang. “Biasanya pukul 1 siang, mereka pulang untuk salat. Tunggu saja di sini,” ucap Saidah dalam keramahan khas miliknya.

Dari Saidah pula, diperoleh dua nomor telepon seluler yang pernah dipakai Rahmatiah untuk menghubunginya. Satu nomor sudah tidak aktif. Satu lagi nomor yang dihubungi diangkat si empunya. Rahmatiah nampak kebingungan. Berulang kali dijelaskan perihal permintaan waktu untuk bertemu dan melakukan wawancara, dia tak memberi tanggapan sebelum akhirnya telepon dia berikan kepada sang suami.

“Ibu Rahmatiah sedang sibuk. Tidak bisa diganggu,” kata Sirajuddin, seorang pensiunan Dinas Kesehatan Wajo.

“Apakah bisa melonggarkan waktu sebentar, Pak?”

“Tidak bisa. Ini sedang beli ikan.”

“Kira-kira jam berapa pulang Pak?”

“Jam 12 malam.”

“Selarut itu?”

“Ikannya masih di laut. Harus dicari dulu,” kata Sirajuddin diikuti tawa sinis.

“Pak, saya sungguh-sungguh meminta waktu wawancara.”

“Ya tunggu saja jam 12 malam nanti,” ucapnya lagi-lagi diikuti derai tawa mengejek, penuh kemenangan.

Ditunggu hingga tiga jam sesudah percakapan aneh itu, Rahmatiah tak kunjung pulang. Pesan pendek dan panggilan telepon tak berbalas.

Menghilangnya Rahmatiah sesungguhnya sudah bisa diramalkan jauh-jauh hari sebelumnya. Ali Abbas, kakak sekaligus pengacaranya, enggan memberikan nomor telepon seluler adiknya itu. Meski beberapa kali berjanji mencarikan nomor itu, sebuah pekerjaan yang mestinya sama sekali tak sulit, Ali gagal memenuhinya. Alasan yang ia kemukakan selalu sama: nomor telepon adiknya itu sudah ganti dan ia sudah lama tidak berkabaran.

Dihubungi lagi dua hari setelah pencarian ke Sengkang, Ali membantah telah memerintahkan Rahmatiah bersembunyi. “Saya tidak tahu (di mana Rahmatiah). Saya kira ada urusan sendiri di kampung. Dia sudah pensiun, jadi banyak kegiatan. Saya tidak pernah ketemu,” ujarnya.

Sedikit yang bisa diketahui tentang sosok Rahmatiah. Dari cerita Syamsi, diketahui nenek lima cucu ini mengawali karier pendidiknya sebagai guru kelas di SD 10 Sengkang pada awal 1970-an. Sepuluh tahun kemudian, Rahmatiah diangkat menjadi Kepala Sekolah di SD 358 Calaccu sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pengawas TK/SD hingga masa pensiunnya. Hanya itu.

Perihal gugatan Rahmatiah ke MK, Syamsi mengaku tidak tahu-menahu latar belakang dan prosesnya seperti apa. “Saya tidak memperhatikan. Betul kami ini saudara, tapi kami kan juga punya urusan masing-masing,” katanya.

Secuil pemikiran Rahmatiah terlacak dalam sebuah artikel yang dimuat harian sore “Suara Pembaruan” edisi Minggu, 30 Maret 2008. Menolak disebut pahlawan, Rahmatiah justru makin mengentalkan suasana heroik yang hendak dia tampilkan. “Apa yang kami lakukan ibaratnya hanya memberi cahaya kepada para pendidik di saat kami memasuki usia senja dan akan mengakhiri tugas. Kami juga tidak pernah berharap untuk menikmati hasil perjuangan itu,” ujarnya sebagaimana dikutip reporter M. Kiblat Said.

Abdul Aziz Hoesein, mantan salah satu Ketua PGRI Pusat periode 2004-2009 yang terlibat dalam setiap sidang di MK sebagai Saksi Terkait, mengungkap apa yang hendak disembunyikan dengan menghilangnya Rahmatiah: ketidakcakapannya. Ia yakin benar, pengawas TK/SD asal Sengkang ini hanyalah pion.

“Saya bertemu beberapa kali dengan guru itu waktu sidang. Memang dia tidak ngerti apa-apa. Kalau saya tanya, dia malahan berkali-kali minta maaf, ngaku disuruh saja,” kata Aziz ketika ditemui di Jakarta awal November lalu.

Saking curiganya, diceritakan Aziz, para pengurus PGRI mengutus orang untuk mencari tahu siapa sebenarnya Rahmatiah tak lama setelah putusan MK. Hasilnya sama sekali tidak mengejutkan. Bahkan di wilayah Sengkang dan Wajo, tempat Rahmatiah tinggal dan mengajar, tak pernah diketahui kiprahnya menyuarakan secara kritis nasib guru. “Sulit memahami dia tiba-tiba datang ke MK untuk menggugat sebuah undang-undang dengan alasan memperjuangkan kesejahteraan guru,” ucapnya.

Jika Rahmatiah hanya pion, siapa yang mengaturnya?

***

Tak seperti Rahmatiah, Badryah Rifai membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Selah berbincang seperempat jam lewat telepon pada 21 November siang, nenek sembilan cucu itu menyediakan waktu bertemu empat hari kemudian di rumahnya yang megah di Jalan Adyaksa Nomor 20 Panakukang, sebuah kawasan elite di pusat Kota Makassar.

Ketika ditanya alasan mengajukan gugatan ke MK, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hassanudin ini segera menyodorkan kisah pilu gaji dosen dan guru besar. Memulai karier PNS dengan gaji Rp 13 ribu, Badryah hanya memperoleh gaji Rp 2,4 juta pada 2007.

“Tak layak gaji guru besar segitu. Beli buku saja tak mampu. Akibatnya ya kita terpaksa ngamen ke kampus-kampus swasta. Kalau sudah begini, kualitas dosen mau jadi seperti apa?” kata Badryah.

Badryah merupakan salah satu anak Muhammad Saleh Werdisastro, Wali Kota Surakarta ke-7 yang menjabat pada 1955-1958. Sejak awal 1970-an dia hijrah ke Makassar bersama suaminya, Rifai Aminudin, putra seorang serdadu yang menjadi dokter spesialis penyakit dalam. Sejak itulah Badryah bersahabat dengan Nurhayati, istri Ali Abbas, sesama pengajar di FH Unhas. Dua keluarga ini pernah tinggal bertetangga di kompleks perumahan dosen tak jauh dari kampus sebelum masing-masing membangun rumah mereka sendiri.

Badryah mengaku banyak berdiskusi dengan Nurhayati seputar nasib dosen dan guru besar. Nurhayati jugalah orang yang mengajaknya menggugat ke MK. “Kita coba-coba saja. Kalah ya sudah,” katanya menirukan ajakan sahabatnya itu.

Dengan Rahmatiah, Badryah tak begitu kenal, selain mengetahui bahwa dia merupakan adik Ali Abbas. Keduanya hanya bertemu setiap kali sidang digelar di Jakarta. Setelah kemenangan mereka peroleh, tak pernah lagi mereka berkomunikasi. “Kalau sekarang ketemu, saya lupa wajahnya,” ucap perempuan 67 tahun tersebut.

Gugatan ke MK diyakini Badryah sebagai sebuah perjuangan penuh pengorbanan membela hak pengajar, khususnya guru besar, memperoleh kesejahteraan. Di kampusnya sendiri, ia dicemooh rekan-rekan dosen karena melawan Pemerintah. Selama menjalani sidang di MK, ia tak punya pendukung selain Nurhayati dan kakaknya yang tinggal di Pondok Labu, Jakarta Selatan. “Saya seperti orang menjerit di padang pasir,” ucapnya.

Badryah mendeskripsikan suasana sidang di MK dengan satu kata: sinis. Perwakilan guru dan beberapa guru besar menyerangnya habis-habisan. “Saya pikir-pikir, apa kerugian mereka? Kan naik juga tunjangan guru? Dibela kok boten kersa (tidak mau),” tuturnya.

Menurut Badryah, tim pengacara telah menyiapkan bahan bagi dia dan Rahmatiah. Tugas mereka adalah mempelajarinya sebelum masuk ruang sidang. “Isinya ya aturan yang melanggar ini, melanggar itu. Saya juga dikit-dikit buka undang-undang. Tapi tim pengacara itu yang akhirnya banyak menjawab. Saya dan Bu Rahmatiah banyak diam,” tuturnya.

Badryah masih mengingat jelas detik ketika Jimmly mengetuk palu putusan MK yang memenangkan gugatannya. “Semua senyap. Diam. Saya tetap duduk, tak percaya. Yang lain pergi, hilang. Tak ada yang memberi selamat,” kenangnya.

Bagi Badryah, ketok palu itu adalah terompet kemenangan yang layak dibanggakan. Dia mengklaim, setelah anggaran pendidik masuk ke alokasi 20 persen, kesejahteraan guru besar menjadi jauh lebih baik. “Jika dulu beli buku saja tak bisa, sekarang lihat, hampir semua guru besar punya laptop, punya mobil!” ucapnya.

Jejak kebanggaan itu juga yang hendak ia abadikan dengan menyimpan dua kenangan atas kemenangannya di MK. Yang pertama, kliping artikel tentang profil dirinya di sebuah koran lokal. Yang kedua, piagam penghargaan dari sebuah tabloid wanita nasional yang menyebutnya sebagai “Wanita Indonesia Terinspiratif dalam Bidang Pemerintahan 2009”. Keduanya dia pajang di dinding ruang keluarga dalam bungkusan pigura yang rapi.

Kemisteriusan Rahmatiah dan kepolosan Badryah bermuara pada satu sosok: Ali Abbas, sang advokat. Lewat kedekatan hubungan keluarga, ia minta Rahmatiah, sang adik, menggugat. Lewat sang istri, ia ajukan Badryah. Tak hanya itu, Ali menyiapkan juga dua saksi ahli dan sebuah tim pengacara yang tangguh.

Siapa sesungguhnya Ali Abbas? Untuk tujuan apa advokat yang akrab dengan perkara bisnis kelas kakap ini tiba-tiba terlibat dalam gugatan sebuah pasal pendidikan di MK? Atau untuk siapa?***