Ranjau Rokok Mengepung Sekolah

 

tulisan-1aTak kurang dari 16,5 juta anak-anak dan remaja di Indonesia, dalam rentang umur 10-19 tahun, mengisap batang rokok. Di saat bersamaan, spanduk promosi dan transaksi jual-beli rokok secara ketengan dengan mudah ditemukan di warung-warung sekitar sekolah. Sebuah kebetulan? Lewat lima seri tulisan sesudah penelusuran selama dua bulan, “PR” menyingkap korelasi antara keduanya.

 

Jual-Beli di Gerbang Sekolah Berprestasi

Belasan pelajar bergerombol di pelataran rumah Cece (56), Jumat (29/1/2016) pagi itu. Di sela percakapan dan gelak tawa, batang-batang rokok berpindah dari satu mulut ke mulut yang lain. Kepulan asap tebal meliuk-liuk di atas kepala.

Rumah Cece terletak di depan kompleks SMP Negeri 48 Bandung. Dinding belakangnya berimpitan dengan pagar depan sekolah tersebut. Pelatarannya yang memunggungi sekolah menjadi persembunyian sempurna bagi gerombolan anak-anak di bawah umur itu untuk mengisap rokok.

Di sudut belakang rumah Cece, tepat di sebelah gerbang sekolah, sebuah warung kelontong leluasa menjual batang-batang rokok secara eceran. Stok berupa puluhan bungkus rokok berderet rapi di dalam kotak kaca yang ditaruh di atas etalase. Beberapa varian produk salah satu merek rokok berada di lapis terdepan.

Kotak rokok yang ditaruh setinggi 1,5 meter tersebut dengan mudah terlihat oleh setiap pengunjung warung. Sama seperti papan iklan di atas warung yang sulit terlewatkan oleh semua murid SMP N 48. Papan berisi produk rokok seluas 1×3 meter tersebut tak mau kalah gagah dari papan nama sekolah mereka di gerbang masuk. Dua batang besi sebesar betis orang dewasa menopangnya.

Yuni (24), menantu Cece, menunggui warung yang dibuka sejak 2009 tersebut. Sambil mengasuh anak pertamanya yang gemar menggelayut manja di gendongan, dia melayani para pelajar yang menjadi pelanggan utama warungnya.  Nama bayi itu Emil (2). Nama yang diabadikan dalam papan iklan rokok di atas warung.

“Papan itu didirikan dua tahun lalu. Orang dari perusahaan rokok yang datang ke sini, menawarkan pemasangan papan nama warung. Saya dikasih uang Rp 1 juta untuk satu tahun kontrak,” ujar Yuni.

Selain papan iklan yang memuat nama warungnya, Yuni juga diberi kotak kaca untuk menaruh bungkus-bungkus rokok. Penempatan kotak itu di atas etalase, bukannya disembunyikan di belakang, juga merupakan permintaan orang dari perusahaan rokok. Pengecekan stok rokok dilakukan dalam kunjungan sekali setiap pekan.

Yuni menjual tak kurang dari 100 batang rokok setiap harinya. Harga per batang berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 1.500.  Harga yang sangat terjangkau oleh kantong saku para pelajar. Apalagi jika dilakukan secara patungan.

“Siapa lagi yang beli di sini kalau bukan para siswa? Warung dan kompleks sekolah ini kan ada di jalan buntu. Sedikit warga perumahan yang datang ke sini,” tutur Yuni.

Yuni mengaku tahu bahwa para siswa dilarang merokok oleh para guru. Namun larangan itu, sepengetahuan dia, hanya berlaku di dalam lingkungan sekolah. “Kalau di luar (sekolah), ya tidak apa-apa (merokok) kan?” ucapnya.

Rayhan (13), salah satu murid kelas 8C SMP N 48, menyadari keberadaan iklan rokok di atas warung Yuni. Ia juga tahu betul beberapa teman sekolahnya membeli rokok di warung itu, lalu mengisapnya secara sembunyi-sembunyi.

“Saya tidak tahu itu melanggar aturan atau tidak, tapi di kelas, para guru berulang kali mengingatkan kami untuk tidak merokok,” katanya.

Faradila (12), murid kelas 8A, tahu bahwa bukan warung milik Yuni saja yang menjual rokok secara ketengan. Dia beberapa kali mendapati teman sekolahnya membeli rokok di warung kelontong dengan spanduk produk rokok merek lain di seberang rumah Cece. Spanduk berisi sepasang muda-mudi memamerkan tawa lebar mereka di atas mobil mewah.

“Biasanya beberapa teman membeli rokok pada saat jam istirahat atau setelah sekolah selesai,” ujar gadis berkerudung dan berkaca mata itu.

Belasan pelajar di pelataran rumah Cece Jumat pagi itu berkumpul dan mulai mengisap rokok setelah jam sekolah. Ketika itu pukul 09.30 WIB. Para murid dipulangkan lebih awal karena semua guru mengikuti acara perpisahan kolega mereka yang memasuki masa pensiun. Selain ramah-tamah dan makan siang, mereka menggelar pengajian.

 

***

SMP Negeri 48 memiliki tak kurang dari 1.200 siswa. Bertetangga dengan SMA Negeri 25 Bandung, sekolah yang berdiri sejak 1982 tersebut terletak sekitar 400 meter dari Jalan Raya Ciwastra. Akses menuju kedua sekolah berupa jalan perumahan Baturaden yang saat ini memiliki enam kompleks pengembangan sejak pertama kali dibangun pada awal 1980-an.

Dengan luas tanah hingga 11 ribu meter persegi, SMP N 48 merupakan kompleks sekolah negeri paling luas di Kota Bandung. Salah satu pemandangan unik di komples ini adalah sebuah taman air, lengkap dengan saung bamboo di pusatnya, yang berada di tengah deretan ruang kelas. Pada Desember 2015 lalu, SMP N 48 terpilih sebagai satu dari 26 sekolah di Kota Bandung yang diganjar Anugerah Adiwiyata Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMP N 48 Bandung Ida Widaningsih mengungkapkan, para guru sudah menerima laporan-laporan yang menyebut kebiasaan beberapa murid merokok pada jam istirahat atau jam pulang sekolah. Ironisnya, sebagaimana dikatakan Ida, “tidak banyak yang bisa dilakukan”.

“Yang bisa kami lakukan adalah memastikan tidak ada rokok masuk sekolah. Kami berwenang penuh untuk itu. Namun kalau urusannya menyangkut lingkungan di luar sekolah, itu di luar jangkauan kami,” tutur Ida.

Ida menganalogikan permasalahan rokok dengan urusan parkir yang tak kalah pelik. Pihak sekolah secara tegas melarang semua muridnya, karena masih di bawah umur, untuk mengendarai sepeda motor ke kompleks sekolah. Yang terjadi kemudian, oknum warga memfasilitasi parkir sepeda motor di lahan kosong di luar sekolah. Sewa parkir yang dipungut dari para siswa masuk ke saku mereka.

Menurut Ida, pihak sekolah sudah berinisiatif melakukan dialog dengan tokoh masyarakat, Ketua RW, dan pejabat kelurahan. Beberapa kali petugas kepolisian dihadirkan di sekolah untuk mempromosikan budaya tertib berlalu-lintas. Hasilnya sama saja. Warung-warung tetap menjual rokok secara bebas, lahan parkir tetap penuh dengan sepeda motor.

Ketua RW 07 Kelurahan Mekar Jaya, Kecamatan Rancasari, Dedi Stepandi mengetahui bahwa warung-warung di sekitar SMP N 48 bebas menjual rokok dan beberapa siswa sembunyi-sembunyi mengonsumsinya. Namun ia mengklaim, belum pernah ada keluhan atau keberatan yang secara resmi disampaikan kepadanya.

“Saya tidak bisa serta-merta memaksa warung-warung itu berhenti menjual rokok. Ini kan menyangkut urusan perut warga,” ujar Dedi ketika ditemui di rumahnya, Senin (8/2/2016) tengah hari.

Dedi, seorang notaris yang mulai tahun lalu menjabat Ketua RW. Rumahnya berdiri memanjang di atas dua petak lahan di kompleks Baturaden, sekitar 100 meter dari sekolah. Di dalam bangunan dua lantai itu, terdapat kolam renang dengan air jernihnya berkilauan.  Sebungkus rokok tergeletak di atas meja ruang keluarga.

 

 

tulisan-2aDari Turangga ke Tetangga Wali Kota

Epan (33) masih mengingat dengan baik kedatangan seorang petugas pemasaran rokok awal 2015 lalu. Dari orang itu, ia mendapatkan secara cuma-cuma selembar spanduk tebal untuk melindungi warung dari terik matahari dan limpasan air hujan. Ia juga dijanjikan uang sebesar Rp 40 ribu per bulan selama spanduk tetap terpasang satu tahun ke depan.

Tidak ada alasan yang dimiliki Epan untuk menolak rejeki nomplok itu. Ia hanya mengajukan satu persyaratan yang segera disetujui sang petugas pemasaran: uang senilai Rp 40 ribu per bulan diberikan dalam wujud rokok.

 

“Kalau berwujud rokok, saya bisa menjualnya dan mendapatkan sedikit tambahan keuntungan,” ujar Epan ketika ditemui di warungnya, Selasa (9/2/2016) pagi.

Warung Epan berupa jongko kayu seluas hanya 1×2 meter. Berbagai kebutuhan praktis sehari-hari, mulai dari kopi, mi instan, hingga botol air mineral, diatur berderet di etalase kaca yang memakan separuh luas warung. Di pojok kanan atas etalase itu, terpajang rapi puluhan bungkus rokok berbagai merek.

Epan bergantian menunggui warung tersebut dengan sang ayah yang mulai berjualan sejak 30 tahun lalu. Sebulan sekali lelaki berkulit coklat yang murah senyum itu pulang ke Majalengka menengok istri dan anak semata wayangnya yang masih balita.

Warung Epan terletak di trotoar Jalan Solontangan, Kelurahan Turangga, tak sampai 10 meter dari mulut gang masuk menuju SMP Negeri 28 Bandung. Setiap hari ratusan pelajar melintas di depan warung yang separuh penampakan depannya tertutup bentangan spanduk gratis berisi iklan salah satu merk rokok internasional tersebut. Sebagian dari mereka mampir membeli makanan atau minuman. Beberapa yang lain membeli rokok secara ketengan.

“Kebanyakan yang beli rokok di sini anak SMA dan SMK. Anak SMP ada juga. Sekitar tiga atau empat orang setiap harinya,” kata Epan.

Turangga merupakan salah satu kelurahan di Kota Bandung dengan jumlah sekolah terbanyak, mencapai 17 unit. Di Jalan Solontongan saja, selain SMP Negeri 28 yang memiliki 980 murid, terdapat SMA Negeri 8 dan SMK Negeri 3 Bandung. Masih di kawasan yang sama, tepatnya di Jalan Kliningan, terdapat SMK Negeri 4 dan SMK Negeri 8. Tak heran, spanduk rokok berbagai merek membentang di hampir semua warung kelontong di kawasan tersebut.

Lurah Turangga Supriatna mencermati, serbuan spanduk rokok di warung-warung kecil di lingkungan sekolah makin menjadi dalam dua tahun terakhir. Ia mengaku sudah menurunkan paksa beberapa spanduk, salah satunya spanduk di warung di samping kompleks kelurahan, namun jumlah yang terpasang justru terus bertambah.

“Patokan kami, selama spanduk yang terpasang di warung-warung itu terbukti tidak berizin, ya cepat atau lambat bakal kami turunkan. Namun kalau spanduk-spanduk itu berizin, ya kami bingung juga harus bagaimana,” kata Lurah yang telah menjabat sejak lima tahun lalu tersebut.

Di sudut kanan bawah spanduk di warung Epan, tertera stempel dan tanda tangan berwarna hitam. Artinya, Pemerintah Kota Bandung secara resmi memberikan izin pemasangan spanduk di dekat lingkungan sekolah tersebut.

 

***

Di Jalan Balonggede, 10 meter dari dinding belakang rumah dinas Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Didin (36) sibuk melayani pembeli di warungnya, Rabu (10/2/2016) pagi. Memiliki luas 4×4 meter, warung tersebut leluasa menampung berbagai barang, mulai dari kue dan makanan ringan hingga telor dan beras.

Didin baru membuka warung itu enam bulan lalu setelah usaha jualan basonya gagal meraup untung. Baru beberapa hari berjualan, datang “orang rokok” yang menawarkan selembar spanduk serta uang Rp 1 juta kepadanya.

Tanpa pikir panjang, Didin menerima tawaran kerja sama tersebut. Spanduk putih berukuran 1×3 meter berisi logo salah satu merek rokok segera membentang di depan warungnya. Sebuah kotak kaca penuh dengan bungkus rokok, ia taruh di atas etalase depan agar mudah terlihat oleh pembeli. Didin harus menjamin keberadaan dua piranti promosi itu selama satu tahun penuh.

Dari semua barang di warungnya, Didin mengaku bahwa rokoklah yang paling laku. Dijual secara ketengan, perputaran uang rokok demikian cepat. Pembelinya bukan hanya warga sekitar, tapi juga para pelajar.

“Namanya anak jaman sekarang beli apa lagi? Ya rokok,” tutur pria berkaca mata tersebut.

Tak sampai 50 meter dari warung Didin terdapat tiga kompleks sekolah yang memiliki lebih dari seribu murid. SMP 1 dan SMP 2 Pasundan bergabung di kompleks yang sama. Di sebelahnya, berdiri SMA 1 Pasundan. Satu lagi sekolah adalah SD Negeri Balonggede, yang jaraknya sekitar 20 meter saja di sebelah selatan warung.

Petugas pemasaran rokok pemasang spanduk datang ke warung Didin sekali sepekan. Petugas pemasaran dari merek yang lain tak mau kalah. Meski warung Didin sudah berhias spanduk salah satu merek rokok, mereka tetap melakukan kunjungan rutin untuk memasok bungkus-bungkus rokok.

“Namanya orang cari uang ya harus pintar-pintar. Mereka kan berpikir, meski tak bisa memasang spanduk, yang penting produk mereka ada di etalase. Kalau ada di etalase, artinya rokok dijual ketengan,” kata Didin.

Tim peneliti Fikom Unisba Bandung bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Bebas Rokok Bandung (BRB) melakukan pengamatan terhadap 64 sekolah di berbagai sudut kota sepanjang Januari sampai Maret 2015. Hasilnya, 94 persen dari sekolah-sekolah tersebut ‘diserbu’ iklan dan promosi produk rokok yang dipasang di warung-warung di sekitarnya. Semua perusahaan rokok besar ditemukan jejaknya.

“Warung-warung dalam radius 100 meter merupakan lokasi favorit ajang promosi dan penjualan rokok. Bahkan ada perang merek di sini. Tim marketing perusahaan rokok menerjunkan orang-orang khusus untuk membina pemilik warung agar menonjolkan produk mereka,” ujar Shanti Indra Astuti, dosen Fikom Unisba yang menjadi koordinator pengamatan, ketika ditemui di kampusnya, akhir Januari 2016 lalu.

Menyimak agresivitas promosi dan penjualan rokok di sekitar sekolah, Shanti dan timnya yakin perusahaan-perusahaan rokok tengah menjalankan sebuah misi khusus. Mereka menyasar calon-calon perokok pemula.

“Untuk tujuan seperti itu, apa ada lokasi yang lebih strategis dibandingkan sekolah?” tanya Shanti, retoris.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan mengungkap 27,2 persen dari total penduduk Kota Bandung yang berumur 10 tahun ke atas, atau setara dengan 600-an ribu orang, merupakan perokok. Ironisnya, 73,6 persen dari mereka mulai mengisap batang rokok pada usia 10-19 tahun. Rentang usia ketika anak-anak dan remaja berseragam sekolah.

 

tulisan-3aPekat Asap Kongkalingkong

Ridwan Kamil mengernyitkan dahi. Sambil membetulkan letak kaca mata kayunya, ia berucap pelan, namun dalam nada geram: “Saya baru tahu itu malam ini.”

Rabu (10/2/2016) itu, Emil, demikian ia akrab disapa, baru bisa melonggarkan waktu untuk wawancara sekitar pukul sembilan malam. Terlambat dua jam dari jadwal yang dia janjikan. Agenda kerjanya sambung-menyambung sejak pagi, mulai dari rapat penilaian Adipura, peninjauan Stadion Gedebage, Sidang Paripurna dengan DPRD, hingga pembahasan desain revitalisasi Taman Tegallega dan Babakan Siliwangi.

Yang baru diketahui Ridwan Kamil malam itu adalah temuan banyaknya sekolah di Kota Bandung yang dikepung iklan dan transaksi rokok. Termasuk sebuah spanduk di belakang rumah dinasnya. Ia tak menyangka, pemasangan reklame rokok bukan hanya bermain kucing-kucingan dengan aparat di jalan-jalan protokol yang ramai dilintasi warga.

“(Iklan dan transaksi rokok di sekitar sekolah) Ini sebuah kesengajaan. Mereka (industri rokok) menyasar kelompok usia anak-anak dan remaja,” tutur Ridwan.

Pemerintah Kota Bandung menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 1015 pada akhir Oktober 2015 lalu. Peraturan ini merupakan perubahan atas Perwal Nomor 213 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Reklame. Salah satu poin penting dalam Perwal baru ini adalah pengadopsian beberapa ayat Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Salah satunya, pelarangan iklan rokok dalam radius 100 meter dari Kawasan tanpa Rokok (KTR). Sekolah termasuk di dalamnya.

Penerbitan Perwal baru ini merupakan hasil kajian dan lobi selama hampir setahun penuh. Ridwan Kamil, yang pernah membintangi iklan rokok saat menjadi arsitek, secara pribadi ingin melarang total penyelenggaraan reklame rokok. Para pengusaha reklame mengajukan keberatan. Rokok merupakan salah satu klien dengan kocek paling tebal.

Ridwan Kamil menyebut fakta yang berkebalikan. Reklame rokok tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD). Tidak sebanding dengan pencemaran visual yang dimunculkan. “Kita dibombardir iklan. Sampah visual di mana-mana,” tutur bapak dua anak ini.

Data Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung menyebutkan, dari total 5.900 izin reklame baru yang diterbitkan pada 2015, jumlah izin reklame rokok tak lebih dari 13 buah. Anjlok dari tahun sebelumnya yang mencapai 97 buah reklame rokok dari total 7.114 izin reklame.

Wawan Khaerullah, Kepala Bidang Perizinan V Reklame, Trayek, Usaha Angkutan, dan Parkir BPPT Kota Bandung, meyakini jumlah izin reklame yang terdaftar resmi di kantornya tersebut tidak wajar. Angka ini tidak mencerminkan fakta begitu mudahnya reklame rokok, baik permanen maupun insidentil, ditemui di tiap sudut kota.

“Mayoritas spanduk di warung-warung, yang jumlahnya ratusan atau mungkin ribuan, sudah bisa kami pastikan ilegal. Apalagi iklan produk rokok di sekitar lingkungan sekolah,” katanya.

Angka yang dipaparkan Wawan sejalan dengan data yang dimiliki Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung. Kontribusi reklame rokok pada tahun 2014 tercatat ‘hanya’ Rp 890 juta. Tahun berikutnya, kontribusi mereka turun menjadi Rp 341 juta. Jumlah kontribusi produk bernikotin ini hanya 3-4 persen dari total realisasi pajak reklame. Terhadap PAD Kota Bandung yang tahun lalu mencapai Rp 2 triliun, kontribusi pajak reklame rokok tak lebih dari 0,0002 persen.

“Kontribusi reklame rokok amat kecil. Apa yang membuat mereka harus diistimewakan?” ujar Kepala Disyanjak Kota Bandung Ema Sumarna ketika ditemui di kantornya, Kamis (27/1/2016) sore.

Salah seorang praktisi senior bisnis reklame di Kota Bandung membeberkan praktik kongkalingkong antara “orang-orang rokok” dengan “oknum perizinan” dan “oknum pajak”. Pemasangan atribut rokok di warung-warung sekitar sekolah, yang masuk kategori reklame insidentil, merupakan “lahan garapan” mereka. “Itu sudah jadi rahasia umum. Biro tidak bisa masuk,” katanya, Senin (7/3/2016) sore..

Dijelaskan praktisi tersebut, modus pelanggaran yang paling sering dilakukan adalah pemalsuan jumlah izin penyelenggaraan reklame. “Mereka mengurus izin 200 lembar spanduk, tapi yang mereka pasang bisa 2.000 lembar. Sekarang siapa mau mengecek spanduk itu satu per satu?” ucapnya.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Reklame Kota Bandung (IPRKB) Wid Sunarya membenarkan, tak ada biro reklame terlibat dalam proyek-proyek pemasangan atribut produk rokok di warung-warung. “Kami fokus pada billboard dan baliho,” tuturnya.

 

***

Besarnya uang haram di pusaran bobrok pengelolaan reklame tersirat dalam kajian Bappeda Kota Bandung dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran pada 2015 lalu. Potensi pajak reklame diyakini mencapai Rp 290 miliar per tahun. Ironisnya, realisasi pajak reklame tahun 2015 tak lebih dari Rp 19 miliar.

Meski praktik buruk pengelolaan reklame begitu kasat mata, bukan berarti penindakannya semudah membalikkan telapak tangan. Keterbatasan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dituding sebagai salah satu pangkal persoalan.

Pada 2011, Pemkot Bandung menyebut keberadaan 7.345 titik reklame ilegal, mulai dari yang tidak mengantongi izin, yang menyalahi izin, hingga yang izinnya kadaluarsa. Mayoritas dari mereka berupa spanduk atau papan iklan ukuran kecil. Termasuk di dalamnya berbagai model spanduk rokok di warung-warung sekitar sekolah.

Dalam kurun 2012-2014, Satpol PP menurunkan paksa sekitar 5.000 titik reklame ilegal, atau rata-rata 1.500 titik reklame per tahun. Jumlah yang sekilas terlihat jumbo ini pada kenyataannya tidak sebanding dengan jumlah izin baru reklame sebanyak 6.000 titik per tahunnya. Laju penertipan kalau jauh dari laju penerbitan izin yang memiliki batas waktu kadaluarsa.

“Kami seperti main kucing-kucingan sepanjang tahun. Siang hari kami menurunkan sekian puluh reklame, malam harinya terpasang puluhan reklame ilegal di titik lain. Bukan berarti kami menyerah, namun harus diakui memang ada keterbatasan,” ujar Kepala Satpol PP Kota Bandung Eddy Marwoto, ditemui di Balai Kota, Jumat (5/2/2016) siang.

Dijelaskan Eddy, keterbatasan sumber daya memaksa Satpol PP memprioritaskan penertiban reklame ilegal di jalan-jalan protol yang dinilai berdampak langsung pada estetika kota. Iklan-iklan yang merangsek ke jantung permukiman, termasuk lingkungan sekitar sekolah, nyaris tak tertangani.

Satpol PP saat ini memiliki 200 petugas lapangan. Pekerjaan mereka bukan hanya membongkar reklame ilegal. Berbagai tindakan penegakan peraturan daerah menjadi tanggung jawab mereka, mulai dari penertiban pedagang kaki lima (PKL) hingga razia PSK. Idealnya, menurut Eddy, jumlah petugas lapangan tiga kali lebih banyak.

Kernyit dahi Ridwan Kamil malam itu mengisyaratkan betapa kewalahannya pemerintah melawan serbuan iklan rokok ilegal. Aturan dan penegakannya kalah gesit dari strategi industri rokok.

 

 

tulisan-4aMereka yang Dikejar Target

Panggil saja laki-laki itu Roni. Tanggung jawab utamanya adalah mengunjungi 50-an warung binaan di wilayah selatan dan timur Kota Bandung masing-masing satu kali seminggu. Warung di sebelah gerbang SMP Negeri 48 salah satunya.

Roni biasa datang ke warung yang ditunggui Yuni setiap Senin sekitar pukul 10 pagi. Bukan dengan mobil boks penuh dengan stiker bergambar promosi produk rokok, tapi dengan Avanza perak yang tak beda dengan kendaraan warga umumnya.

Senin (1/2/2016) pagi itu, Roni menghabiskan 15 menit di warung Yuni. Bersama seorang rekan kerja, ia duduk di tangga di depan warung, mengecek daftar jumlah batang rokok yang terjual. Sejurus kemudian ia membuka pintu belakang Avanza dan mengambil dua pak rokok.

“Kami mengecek tanggal kadaluarsa. Jangan sampai ada bungkus yang sudah kadaluarsa, tapi masih dipajang di warung,” kata Roni dalam balutan seragam hitam-merah perusahaannya.

Menurut Roni, ia tidak harus memasok rokok ke warung-warung yang ia kunjungi. Pemilik warung dibebaskan berbelanja rokok dari mana saja, entah pasar atau toko swalayan. Namun, jika pemilik menelpon meminta pasokan, ia pasti datang.

Roni sudah bekerja di perusahaan rokok sejak 2002. Dalam dua tahun pertama, ia berpindah-pindah area pemasaran, mulai dari Bandung, Subang, lalu ke Banjar. Sejak akhir 2004, ia menetap di Bandung.

Berperan sebagai juru pelihara warung, Ron itidak berurusan dengan pemasangan spanduk atau papan nama toko. Ia mengaku tidak tahu-menahu perihal larangan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah. Belum pernah ada sosialisasi atau instruksi yang ia terima tentang aturan tersebut.

“Pemilihan warung dan pemasangan spanduk itu urusan orang Bagian Merchandise. Tugas saya hanya mengunjungi toko yang daftarnya sudah ada,” ujar lelaki bertubuh gempal dengan rambut ikal itu.

Setiap hari Roni berkeliling membelah kemacetan mulai pukul 8.30 pagi hingga sekitar pukul 5 sore. Target kunjungan ke 50-an warung binaan dalam seminggu merupakan harga mati. Ini menyangkut pendapatan bulanannya yang menjadi tumpuan menghidupi satu istri dan dua anak.

 

***

Cerita tentang target juga meluncur dari mulut Lukman (36), bukan nama sebenarnya. “PR” mewawancarainya ketika sedang menunggui anaknya di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bandung, Senin (29/2/2016) siang.

Lukman bekerja di sebuah perusahaan rokok nasional sejak lima tahun lalu. Ia memulainya sebagai seorang motoris, petugas yang mengunjungi warung-warung dengan mengendarai sepeda motor yang dilengkapi boks berisi rokok. Dalam satu hari, ada 40-an warung di bagian barat Kota Bandung harus ia kunjungi. Target penjualan batang rokok ditetapkan per bulan.

“Misalkan bulan ini saya ditarget menjual 100 ribu batang, ya saya pikirannya cari warung mana saja yang jadi sasaran. Lalu, saya breakdown, per warung saya mesti bisa memasok berapa batang,” tutur Lukman yang saat ini menjabat sebagai Koordinator Tim Sales yang membawahi para motoris.

Selain memastikan tercapainya target penjualan, motoris juga bisa memberikan rekomendasi pemasangan atribut produk rokok di warung-warung yang dinilai strategis. Pertimbangan utamanya adalah lokasi.

“Sederhananya, yang stratetegis itu ya yang banyak orang lewat. Warung-warung seperti ini pasti juga dikejar perusahaan rokok lain. Jadi, adu cepat,” ucap Lukman.

Pemasangan spanduk, stiker, atau cat produk rokok di warung dimaksudkan sebagai penanda keberadaan produk tersebut. Yang diharapkan setelah orang tahu, sebagaimana dikatakan Lukman, mereka merogoh kocek untuk membelinya.

Lukman membantah jika perusahaan rokoknya sengaja menjadikan anak-anak sekolah, terutama SMP, sebagai target penjualan. Keberadaan atribut rokok di warung-warung sekitar sekolah semata-mata akibat target penjualan yang dibebankan kepada para petugas di lapangan. “Kami mencari sebanyak-banyaknya warung. Sesederhana itu,” akunya.

Meski tidak hafal peraturan secara rinci, Lukman mengaku tahu adanya pelarangan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah. Ia berupaya mematuhi aturan tersebut meski pada saat yang sama mengakui bahwa patokan pemasangan atribut promosi semata-mata adalah letak strategis sebuah warung.

Sulit menyebut warung-warung di sekitar kompleks sekolah, yang jumlah muridnya bisa mencapai ribuan anak, tidak termasuk dalam kategori strategis. Lukman pun tidak membantahnya.

Terhadap temuan atribut dan transaksi rokok di sekitar sekolah, sebagian perusahaan rokok raksasa memberikan tanggapan mereka. Budhi Agoes Salim, Marketing Manager Regional Sales Marketing Services PT. Sumber Cipta Multiniaga memberikan jawaban lewat surat elektronik yang dikirimkan, Senin (14/3/2016) siang. Jawaban ini datang setelah selama satu bulan “PR” berupaya mewawancarinya.

Budhi membantah perusahaannya, yang bertanggung jawab atas pendistribusian produk Djarum di area Bandung dan Jawa Barat, secara sengaja menyasar para pelajar di bawah umur dengan memasang atribut di warung-warung sekitar sekolah. “Atribut (rokok) yang ada di warung adalah sarana yang menyatakan warung tersebut menyediakan produk. Tidak harus dipersempit dengan pemikiran bahwa hal tersebut (dilakukan) untuk sasaran anak sekolah karena lokasinya di area umum. Pembelinya bisa tukang becak, pejalan kaki, dan sopir,” tulisnya.

Terhadap transaksi rokok ketengan dan aksi merokok secara sembunyi-sembunyi oleh para pelajar, Budhi tidak membantahnya. Namun ia juga menegaskan hal tersebut bisa terjadi di mana saja, termasuk di dalam rumah.  “Pada kenyataannya sebagian besar perokok diawali dari rumah, semisal mengambil rokok orang tuanya dan curi-curi mencobanya,” tulisnya.

Budhi juga mengamini kecenderungan naiknya jumlah perokok anak-anak dan remaja yang ia sebut “mempunyai keingintahuan yang besar, salah satunya terhadap gaya hidup”. Menurut Budhi, imbauan sudah banyak diberikan oleh institusi kesehatan dan pendidikan, namun, “Kembali lagi kepada hak bebas tiap individu dalam menyikapinya”.

Di ujung surat balasannya, pria berkacamata yang akrab dengan komunitas event organizer (EO) di Bandung ini, menegaskan sikap korporasinya. “Perusahaan rokok tentunya melakukan aktivitas berdasarkan aturan yang ada,” tulisnya.

  1. HM Sampoerna Tbk memberikan tanggapan resmi mereka lewat surat elektronik yang dikirimkan oleh Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communications, Selasa (8/3/2016) malam. Dalam surat tersebut, mereka menegaskan sikap menentang kegiatan merokok di kalangan anak-anak.

Sesuai dengan sikap tersebut, Sampoerna mengklaim telah “melakukan setiap upaya untuk tidak memasang iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah”. Namun pada saat bersamaan mereka juga mengakui adanya potensi pelanggaran atas sikap tersebut “mengingat banyaknya jumlah retailer dan pedagang di seluruh Indonesia, termasuk Bandung”.

Sampoerna memiliki program Pencegahan Akses Pembelian Rokok oleh Anak (PAPRA) yang digulirkan sejak 2013. Program tersebut saat ini menjangkau hampir 30 ribu gerai penjualan. “Kami terus melakukan upaya terbaik untuk memastikan kami hanya melakukan komunikasi dengan perokok dewasa,” ujar Elvira.

“PR” masih menunggu tanggapan resmi dari PT Gudang Garam, Tbk dan Bentoel Group, dua raksasa rokok lainnya. Permintaan konfirmasi sudah dikirimkan lewat kontak yang tertera di laman resmi masing-masing.

 

Sumbangan cukai rokok dalam APBN 2015 mencapai Rp 149,5 triliun, atau setara dengan 9,4 persen dari total realisasi penerimaan negara. Dari jumlah tersebut, Rp 125,5 triliun datang dari empat perusahaan terbesar: Djarum, Sampoerna, Gudang Garam, dan PT PDI Tresno yang merupakan bagian dari Bentoel Group.

Tahun 2016 ini sumbangan pendapatan cukai rokok ditargetkan setidaknya bisa mencapai besaran yang sama. Batang-batang rokok yang dijual secara ketengan di warung-warung sekitar sekolah menjadi bagian dari upaya pencapaian target raksasa yang, ironisnya, ditetapkan oleh pemerintah.

 

 

tulisan-5aGelombang Baru Perokok Pemula

Yang terjadi pada Jumat (13/11/2015) pagi itu adalah sebuah sejarah. Puluhan murid SMP Negeri 7 Kota Bandung mendatangi warung-warung di sekitar sekolah mereka dan menurunkan spanduk-spanduk rokok yang terpasang di sana.

Tidak ada adu otot dalam aksi pagi itu. Para pemilik warung cukup puas, spanduk yang diturunkan ditukar dengan spanduk serupa meski isinya berkebalikan: pesan-pesan penolakan terhadap serbuan iklan rokok. Yang penting, warung mereka tetap terlindung dari limpasan air hujan dan terik matahari.

Aksi penurunan spanduk rokok ini merupakan bagian dari pendampingan yang diberikan oleh Tim peneliti Fikom Unisba Bandung bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Bebas Rokok Bandung (BRB). Rita Gani, pengajar di Fikom Unisba, mengungkapkan, pelibatan komunitas sekolah ini disodorkan sebagai jalan alternatif melawan gempuran iklan rokok di lingkungan mereka di tengah berbagai keterbatasan sumber daya pemerintah.

“Komunitas sekolah harus mulai peduli dan berani menyikapi apa yang terjadi di luar pagar. Jangan diam atau pura-pura tidak tahu. Sekolah punya hak karena wilayah dalam radius 100 meter itu masih bagian dari lingkungan mereka,” ujar Rita.

Para murid SMP N 7 tidak sendirian dalam menjalankan aksi penurunan reklame rokok. Mereka disokong penuh oleh para guru. Masyarakat sekitar, yang diwakili Ketua RW 02 Kelurahan Citarum, Pramutady, juga memberikan dukungan.

Yang tak kalah penting adalah jaminan keamanan. Penurunan spanduk dilakukan dalam koordinasi dengan Polsek dan Koramil setempat. “Kami sadar bahwa tindakan ini tergolong rentan karena bersinggungan dengan oknum-oknum yang kepentingan dengan spanduk tersebut,” kata Rita.

Sokongan dari berbagai pemangku kepentingan ini mutlak dibutuhkan agar upaya melawan serbuan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah membuahkan hasil. Yang terjadi di SMP Negeri 7 adalah kisah sukses. Di lokasi lain, SMP Negeri 40 Bandung, tim yang sama gagal menggerakkan para siswa melakukan aksi serupa. Jual-beli batang rokok terus berlangsung di depan gerbang sekolah tak jauh dari kompleks Balai Kota Bandung tersebut.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Elih Sudiapermana mengungkapkan adanya keragu-raguan dari para guru ketika harus bersingunggan dengan permasalahan di luar pagar sekolah. Cakupan Kawasan tanpa Rokok (KTR) masih dipahami sebatas di lingkungan dalam sekolah.

Elih membandingkan tindakan melawan serbuan iklan rokok dengan program Gerakan Pungut Sampah (GPS). Keduanya sama-sama dilakukan di luar pagar sekolah. GPS merupakan program rutin berupa aksi memungut sampah secara bersama-sama, biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum jam sekolah.

“Kalau ada GPS, tetangga-tetangga sekolah pasti mendukung. Siapa tidak mau jalan dan selokan mereka dibersihkan dari sampah? Kalau soal spanduk rokok, lain cerita. Banyak dinamikanya. Ini kan menyangkut penghasilan orang,” ucap Elih.

Elih berani memastikan sudah 100 persen lingkungan dalam sekolah di Bandung bersih dari atribut produk rokok. Terhadap serbuan iklan rokok di luar pagar sekolah, ia baru bisa menjanjikan upaya lebih serius untuk menyikapinya.

 

***

Serbuan iklan rokok di lingkungan sekitar sekolah terjadi juga di kota-kota lain di Indonesia. Mayoritas sekolah, mulai dari SD sampai SMP/SMK, dikepung iklan rokok dalam radius kurang dari 100 meter.

Pengamatan dilakukan serentak sepanjang Januari hingga Maret 2015 di Bandung, Jakarta, Makassar, Mataram, dan Padang. Keberadaan iklan rokok di warung sekitar sekolah ditemukan di 85 persen dari total 360 sekolah yang diamati. Mayoritas berbentuk spanduk.

Sebuah kebetulan? Hendriyani, pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), tidak memercayainya. Spanduk rokok bukan dimaksudkan untuk “melindungi warung dari tempias air hujan dan terik matahari”. Dia yakin betul, temuan ini mengungkap strategi besar perusahaan-perusahaan rokok menciptakan gelombang baru perokok anak dan remaja.

“Mereka memasang spanduk rokok di warung dekat sekolah, tapi mencuekin warung-warung yang jauh dari sekolah. Kenapa? Karena anak-anak sekolah yang mereka jadikan sasaran,” ujar Hendriyani yang juga pengurus Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) ketika ditemui di Jakarta, Rabu (3/2/2016) siang.

Ditemui di hari yang sama di Jakarta, Widyastuti Soerojo, Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), menjelaskan betapa strategisnya anak-anak dan remaja di mata perusahaan rokok. Hal ini tak terlepas dari kecenderungan turunnya prevalensi perokok baru usia dewasa setidaknya dalam 20 tahun terakhir.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan laju penurunan tersebut. Pada tahun 1995, prevalensi perokok baru usia 20-24 tahun mencapai 25,8 persen. Pada 2013, prevalensi tersebut turun menjadi 16,3 persen. Hal serupa terjadi di kelompok usia 25-29 tahun. Prevalensi perokok baru turun dari 6,3 persen pada 1995 menjadi 4,4 persen pada 2013. Kelompok umur di atas 30 tahun sama halnya. Prevalensi perokok baru turun dari 3,8 persen ke 3,6 persen.

“Sangat masuk akal jika industri rokok sekarang menyasar anak-anak dan remaja. Jika remaja tidak merokok, perusahaan rokok bakal bangkrut,” tutur Widyastuti.

Masifnya jangkauan serangan iklan rokok terhadap anak-anak dan remaja ini terungkap dalam survei cepat yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak di 10 kota di Indonesia pada 2012. Nyaris 100 persen anak usia 13-15 tahun mengaku melihat iklan rokok luar ruangan.

Tentang bagaimana spanduk iklan rokok dapat memengaruhi keputusan anak-anak dan remaja, ada beberapa studi yang bisa dirujuk. Salah satunya dilakukan Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka pada 2007 lalu. Mewawancarai 353 siswa SMP dan SMA/SMK, studi tersebut menemukan 70 persen responden remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh iklan.

“Iklan rokok bekerja lewat cara yang sangat subtil, halus. Cukup dengan asosiasi warna atau kata, produk mereka bisa dikenali. Tujuan akhir semua iklan ya sama saja. Mereka menuntun anak-anak dan remaja untuk membeli, mengkonsumsi,” ucap Hendriyani.

Efektivitas iklan rokok tercermin dalam Riskesdas, riset tiga tahunan yang dirilis Kementerian Kesehatan. Prevalensi perokok anak-anak dan remaja meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk kelompok umur 10-14 tahun, prevalensi perokok melonjak dari 9,8 persen pada 2007 menjadi 17,53 persen pada 2013. Prevalensi perokok usia 15-19 tahun naik dari 36,3 persen pada 2007 menjadi 55,4 persen pada 2013.

Riskesdas menunjukkan kepada kita ada 16,5 juta anak-anak dan remaja yang menjadi perokok pada 2013. Mereka menjadi bagian dari jumlah total perokok aktif di Indonesia yang mencapai 58,7 juta orang. Tanpa tindakan signifikan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) meramalkan dengan cemas jumlah perokok di Indonesia pada 2020 mendatang bakal menyentuh angka 160 juta orang.

Tentang bahaya kebiasaan merokok, sudah ada ratusan atau ribuan penelitian yang membahasnya. Salah satu kajian tentang dampak buruk rokok dilakukan secara rutin oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes. Pada 2013 mereka menemukan 240.618 kasus kematian prematur akibat penyakit terkait tembakau. Jumlah ini meningkat dari 190.260 kasus kematian yang ditemukan pada 2010.

Bukan tanpa alasan jika di setiap bungkus dan iklan rokok terpampang peringatan: “Merokok Membunuhmu”. Namun bukan tanpa alasan pula jika peringatan bernada mengancam itu gagal membendung laju penambahan jumlah anak-anak dan remaja yang mengisap batang rokok.***

Leave a comment