Pagi-pagi benar, belum genap pukul 06.00 WIB, datang pesan pendek dari Bu Yepa, redaktur. Ada acara penyerahan bantuan di SD IRK Jalan Karapitan pukul 09.00 WIB, mohon diliput. Tentu saja reaksiku terlambat, lebih dari satu jam sesudahnya, saat terbangun. “Pasti berita pesanan,” batinku sambil mengambil handuk di luar pintu kamar.
Aku terlambat 15 menit. Acara belum mulai. Sebuah poster anyar terpampang di dinding. Benar saja, bantuan diberikan sebuah klub orang-orang berkecukupan yang memang sering membagi-bagi bantuan model begini. Tebakanku saat bangun pagi, benar.
Aku mesti membuat tulisan, tentu saja. Soal penyaluran bantuan kotak susu, kacang hijau, dan obat cacing, tak harus dikedepankan. Ada sesuatu yang jauh lebih menarik. Sekolah ini sendiri! Maka banyaklah aku menggali cerita dari Muhtar Fauzi, kepala sekolah.
Tentang sekolah yang dia pimpin, Muhtar punya olok-olok untuk diceritakan. Katanya, setiap kali rapat kepala sekolah, banyak rekan seprofesi yang salah kira. Huruf “K” dalam IRK, nama sekolah dasar (SD) tempat dia bekerja, disangka kepanjangan dari Kristen. Karenanya, banyak orang mengira SD IRK salah satu sekolah yang bonafit.
“Huruf “K” itu dikira kepanjangan dari Kristen. Dikiranya IRK itu milik yayasan Kristen, seperti sekolah-sekolah lain yang inisialnya berakhiran dengan “K”. Dan semua tahu, di Kota Bandung, sekolah di bawah yayasan Kristen selalu identik dengan sekolah yang bonafit,” papar kepala sekolah yang menjabat sejak empat tahun lalu.
Tapi “K” dalam IRK tidak ada hubungan dengan Kristen atau yayasan Kristen. IRK kepanjangan dari Ikatan Rukun Keluarga, sebuah yayasan yang berdiri sejak 1955. Soal bonafit atau tidaknya, silakan berkunjung sendiri.
Di sela-sela permukiman padat penduduk tersebut, akan Anda temui sebuah kompleks sederhana dengan enam ruang kelas yang terbagi dalam dua lokal. Satu lokal, termasuk ruang yang digunakan Muhtar dan para guru berkantor, dibangun pada 1974. Satu lagi lokal direnovasi tujuh tahun kemudian. Melihat umurnya, tidak mengherankan jika di sana-sini ditemui langit-langit yang ambrol.
Masuk ke dalam kelas, suasananya tidak jauh berbeda. Sebagian besar bangku dan kursi berdiri seadanya. Tua dan penuh coretan. “Sejak saya bersekolah di sini hingga sekarang menjadi guru, tidak ada perubahan yang berarti. Begini-begini saja,” ucap Titin, wali kelas I.
Muhtar bercerita, perbaikan sarana dan prasarana sekolah merupakan sesuatu yang sulit direalisasikan di IRK. Sebabnya, mayoritas murid berasal dari keluarga miskin. Masukan uang pembangunan tidak bisa diharapkan. “Sebagian besar murid kami anak-anak panti asuhan Ulul Albab dan An Nida Rosada. Sisanya, anak para pemungut sampah dan penjual bala-bala di sekitar sekolah,” ujarnya.
Meski swasta, SD IRK praktis telah menggratiskan biaya pendidikan bagi seluruh muridnya sejak empat tahun lalu. Uang gedung tak terbayarkan. Hanya satu-dua murid yang mampu melunasi. Uang bulanan, sebelum tahun ini gratis, tidak lebih dari Rp 15 ribu. “Saya bayar juga. Uang ini kan untuk menggaji gurunya,” kata Oksa, salah seorang murid kelas 6, polos. Dia sadar, sekolahnya minim dana.
SD IRK diasuh oleh 1o guru. Enam di antaranya pegawai negeri. Muhtar mengaku, bayaran mengajar di sini tidak lebih dari Rp 400 ribu per bulannya. Itu yang tertinggi. Yang terendah Rp 150 ribu. Penerimaan murid baru setiap tahunnya berkisar 20 orang. Kini, ada 135 murid tertampung.
Meski sarana sekolah serba terbatas, bukan berarti murid-murid menjadi terpencil. Beberapa lomba antarsekolah tetap mereka ikuti. Kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka dan futsal pun disediakan oleh sekolah. Bahkan, dalam waktu dekat mereka bisa belajar kesenian Sunda Calung. “Moga-moga ada dana sisa BOS (bantuan operasional sekolah) untuk membayar pelatihnya,” ujar Muhtar.
Muhtar tidak sendiri meyakini, guru-guru juga, murid-muridnya berpotensi. Dengan sarana dan prasarana memadai, peningkatan kualitas bukan hal yang mustahil. Toh, orang miskin tidak harus selalu memperoleh akses yang serba terbatas kan? Mereka berhak memperoleh layanan sepadan hingga memiliki rasa percaya diri yang besar, karena merasa tidak berbeda, tidak terkucilkan.
Bangku dan meja tua penuh coretan, langit-langit yang roboh, perpustakaan yang bersembunyi di pojok ruangan, semuanya itu semoga menjadi pertimbangan para donatur yang hari ini datang membawa sekotak susu dan kacang hijau. Semoga situasi memprihatinkan itu mampir di hati, lalu menggerakkan.