Rumah Kecil di F6

Rumah di blok F6 Buah Batu Regensi itu kecil. Satu lantai saja. Waktu aku datang pertama kali beberapa hari lalu, segera kukatakan: “Lucu benar rumah ini.” Lucu, kata sebagian orang, sama dengan tidak menarik.

Menurutku rumah itu sangat girlie. Desain muka dan pagar serta pengaturan taman membuatku menilai begitu. Karena belum masuk, waktu itu tidak ada kunci, penilaian berhenti di situ. Tapi kemarin, dengan Agnes, tunangan, kami masuk. Dan rumah ini tidak lagi lucu.

Agnes sangat menyukainya. Dia jatuh cinta. “Rumahnya bagus, di lokasi yang bagus, dan harganya terjangkau. Sesuai dengan dana yang dianggarkan,” ujarnya.

Maka antusias benar dia menjelajah ruang demi ruang, mengagumi kamar mandi kering, sebuah gudang kecil di depan, dan dapur yang bersembunyi di pojok. “I think we should take this one,” bisiknya saat pulang, sambil tersenyum. Matanya berbinar khas milik orang jatuh cinta. “Kita sudah lelah mencari kan?”

Bisa jadi rumah inilah yang akan menjadi rumah kami nantinya sebab tadi siang, obrolan panjang dengan si pemilik memperjelas banyak hal. Termasuk yang paling rumit, tentu saja proses KPR Bank.

Tidak ada yang menjamin rumah ini akan menjadi pilihan final nantinya. Mencari memang melelahkan, tapi tak membuat jera juga. Tantangan-tantangan baru bermunculan. Dan orang akan kembali lagi. Mencoba hal yang tak sama dengan mengharapkan hasil yang berbeda.

Rumah kecil di F6, kami berdoa tentangnya.

No facebook (?)

Demam facebook, setidaknya di kantor tempat bekerja, akhirnya berujung pahit. Mulai hari ini Redaksi memblokir akses ke laman ini pukul 16.00 WIB hingga 10.00 WIB. Jam-jam ini dianggap sebagai waktu tersibuk. Dan penggunaan facebook dipercaya mengganggu pengiriman foto dan berita dari daerah. Jadi jalan lambat, katanya.

Ah, kecewalah semua. “Padahal kan begini”, “padahal kan begitu”. Semua pembelaan dan sesalan diutarakan. Aku sendiri membela: padahal kan aku baru tiga hari ikut dan jumlah teman terus bertambah. Kecanduan belum, tapi sedang hangat-hangatnya ya.

Beberapa saudara Seminari dan teman kuliah kembali tersapa. Salah satu yang menarik adalah reuni tim pembuat film dokumenter tari Dolalak di Purworejo empat tahun lalu. Ada Nana, Andi, dan Kiki. Nana bahkan mengirim dua foto untukku. Seribu kenangan muncul dari balik layar. Dan itu, menyenangkan.

Sayang, lagi-lagi sayang, facebook, salah satu anak tangga yang sukses membawa Obama ke Gedung Putih, sudah diblokir pada jam-jam saat aku ada di kantor, pada saat aku secara bebas bisa berselancar.

Tapi petang tadi datanglah Joko Pambudi, kawan yang malang hidupnya karena ditahbiskan jadi wartawan pemilu seorang diri. “Tenang Jok, selalu ada jalan keluar,” bisiknya. Lalu tanpa basa-basi, dikenalkanlah aku dengan sebuah laman pengecoh deteksi operator. Dan sukses. Facebook tetap bisa diakses (meski aku tidak cukup sakau untuk meneruskannya).

Ternyata bukan dia ahlinya. Dia pun tahu dari yang kawan lain. Berarti, teknik sudah menyebar. Kiraku, banyak sudah yang sejak hari pertama ini sudah sembunyi-sembunyi tetap ber-Facebook. Hari kedua dan seterusnya, dan itu entah berapa lama, barangkali sampai daya internet menebal, sudah pasti teknik ini bakal makin menyebar.

Tahulah aku, setiap jalan buntu, apalagi yang semula tidak buntu tapi lantas dibuntukan, selalu melahirkan lorong-lorong yang lain. Tepatlah kata Romo Harjanto (dulu Frater) di sebuah pigura di depan kamarnya di tingkat pertama Seminari: jika di suatu tempat Tuhan tidak membuka pintu, di lain tempat Dia pasti membuka jendela.

Tugas manusia, ya mencarinya, meski kadang dengan sembunyi-sembunyi. Sisanya, dengan berani.

Dan demi Facebook, siapa tak berani? Banyak jendela terbuka.

Antara ‘R’ dalam IRK dan Sekolah Bonafit

Pagi-pagi benar, belum genap pukul 06.00 WIB, datang pesan pendek dari Bu Yepa, redaktur. Ada acara penyerahan bantuan di SD IRK Jalan Karapitan pukul 09.00 WIB, mohon diliput. Tentu saja reaksiku terlambat, lebih dari satu jam sesudahnya, saat terbangun. “Pasti berita pesanan,” batinku sambil mengambil handuk di luar pintu kamar.

Aku terlambat 15 menit. Acara belum mulai. Sebuah poster anyar terpampang di dinding. Benar saja, bantuan diberikan sebuah klub orang-orang berkecukupan yang memang sering membagi-bagi bantuan model begini. Tebakanku saat bangun pagi, benar.

Aku mesti membuat tulisan, tentu saja. Soal penyaluran bantuan kotak susu, kacang hijau, dan obat cacing, tak harus dikedepankan. Ada sesuatu yang jauh lebih menarik. Sekolah ini sendiri! Maka banyaklah aku menggali cerita dari  Muhtar Fauzi, kepala sekolah.

Tentang sekolah yang dia pimpin, Muhtar punya olok-olok untuk diceritakan. Katanya, setiap kali rapat kepala sekolah, banyak rekan seprofesi yang salah kira. Huruf “K” dalam IRK, nama sekolah dasar (SD) tempat dia bekerja, disangka kepanjangan dari Kristen. Karenanya, banyak orang mengira SD IRK salah satu sekolah yang bonafit.

“Huruf “K” itu dikira kepanjangan dari Kristen. Dikiranya IRK itu milik yayasan Kristen, seperti sekolah-sekolah lain yang inisialnya berakhiran dengan “K”. Dan semua tahu, di Kota Bandung, sekolah di bawah yayasan Kristen selalu identik dengan sekolah yang bonafit,” papar kepala sekolah yang menjabat sejak empat tahun lalu.

Tapi “K” dalam IRK tidak ada hubungan dengan Kristen atau yayasan Kristen. IRK kepanjangan dari Ikatan Rukun Keluarga, sebuah yayasan yang berdiri sejak 1955. Soal bonafit atau tidaknya, silakan berkunjung sendiri.
Di sela-sela permukiman padat penduduk tersebut, akan Anda temui sebuah kompleks sederhana dengan enam ruang kelas yang terbagi dalam dua lokal. Satu lokal, termasuk ruang yang digunakan Muhtar dan para guru berkantor, dibangun pada 1974. Satu lagi lokal direnovasi tujuh tahun kemudian. Melihat umurnya, tidak mengherankan jika di sana-sini ditemui langit-langit yang ambrol.

Masuk ke dalam kelas, suasananya tidak jauh berbeda. Sebagian besar bangku dan kursi berdiri seadanya. Tua dan penuh coretan. “Sejak saya bersekolah di sini hingga sekarang menjadi guru, tidak ada perubahan yang berarti. Begini-begini saja,” ucap Titin, wali kelas I.

Muhtar bercerita, perbaikan sarana dan prasarana sekolah merupakan sesuatu yang sulit direalisasikan di IRK. Sebabnya, mayoritas murid berasal dari keluarga miskin. Masukan uang pembangunan tidak bisa diharapkan. “Sebagian besar murid kami anak-anak panti asuhan Ulul Albab dan An Nida Rosada. Sisanya, anak para pemungut sampah dan penjual bala-bala di sekitar sekolah,” ujarnya.

Meski swasta, SD IRK praktis telah menggratiskan biaya pendidikan bagi seluruh muridnya sejak empat tahun lalu. Uang gedung tak terbayarkan. Hanya satu-dua murid yang mampu melunasi. Uang bulanan, sebelum tahun ini gratis, tidak lebih dari Rp 15 ribu. “Saya bayar juga. Uang ini kan untuk menggaji gurunya,” kata Oksa, salah seorang murid kelas 6, polos. Dia sadar, sekolahnya minim dana.

SD IRK diasuh oleh 1o guru. Enam di antaranya pegawai negeri. Muhtar mengaku, bayaran mengajar di sini tidak lebih dari Rp 400 ribu per bulannya. Itu yang tertinggi. Yang terendah Rp 150 ribu. Penerimaan murid baru setiap tahunnya berkisar 20 orang. Kini, ada 135 murid tertampung.

Meski sarana sekolah serba terbatas, bukan berarti murid-murid menjadi terpencil. Beberapa lomba antarsekolah tetap mereka ikuti. Kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka dan futsal pun disediakan oleh sekolah. Bahkan, dalam waktu dekat mereka bisa belajar kesenian Sunda Calung. “Moga-moga ada dana sisa BOS (bantuan operasional sekolah) untuk membayar pelatihnya,” ujar Muhtar.

Muhtar tidak sendiri meyakini, guru-guru juga, murid-muridnya berpotensi. Dengan sarana dan prasarana memadai, peningkatan kualitas bukan hal yang mustahil. Toh, orang miskin tidak harus selalu memperoleh akses yang serba terbatas kan? Mereka berhak memperoleh layanan sepadan hingga memiliki rasa percaya diri yang besar, karena merasa tidak berbeda, tidak terkucilkan.

Bangku dan meja tua penuh coretan, langit-langit yang roboh, perpustakaan yang bersembunyi di pojok ruangan, semuanya itu semoga menjadi pertimbangan para donatur yang hari ini datang membawa sekotak susu dan kacang hijau. Semoga situasi memprihatinkan itu mampir di hati, lalu menggerakkan.

Tentang Rumah yang Serius

Sesudah meliput sebuah seminar nasional tentang sertifikasi guru di aula Dinas Pendidikan Jabar siang tadi, kuajak seorang kawan wartawan makan siang. “Rumus baru, yang mengajak yang mentraktir lho,” ujarnya sigap menanggapi ajakan.

Dia mengaku sudah makan pagi. Aku belum. Karena itulah, aku mengiyakan. Paling-paling dia hanya beli minuman saja. Adalah anggaran kalau hanya untuk itu hehehe… Maka mampuslah 30 menit di sebuah warung pecel lele di pinggiran jalan Radjiman yang sedikit lengang.

Nama kawan (baru) itu Toro, bekerja di Tribun Jabar. Asal Jawa juga. Karena sama-sama perantau, maka menyangkut soal itu jugalah percakapan meluncur sejurus kemudian. Mulai dari waktu liburan, kos, dan rumah.

“Mau jadi orang Jabar?” tanyanya. “Kamu kan kerja di PR. PR itu koran Jabar.”

Aku masih belum menangkap keseluruhan makna pertanyaannya. Tapi untunglah, dia meneruskan. Sedikit berkhotbah, tapi aku menikmati mendengarkan.

“Kalau aku memang berencana tinggal di sini. Sudah mulai membeli rumah di Ujungberung, KPR tentu saja. Tinggal pasang listrik, lalu ditempati,” ujarnya panjang-lebar.

Lalu dia menambahkan, tampaknya karena melihatku sedikit terpesona dengan topik yang dia berikan. “Kita tidak boleh lagi main-main. Hidup ini serius, harus direncanakan sejak awal. Terutama dalam hal rumah. Apalagi kamu sudah tunangan kan?” sergapnya bertubi-tubi.

Aku tercenung. Hidup ini serius? Gara-gara rumah, hidup ini serius?

Aku teringat setiap jerih-payah bersama Agnes sebulan terakhir mengusahakan sebuah rumah di Bandung. Benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Datang ke satu developer, lalu pindah ke yang lain. Melihat sebuah lokasi, lalu melompat ke lain tempat. Bermain dengan satu harga, lalu muncul kalkulasi yang lain.

Hingga sekarang, belum ada juga yang klop. Satu rumah di Buah Batu Regensi yang begitu memikat kami, karena di seberang jalan ada taman yang bagus, gagal diraih karena negosiasi harga berujung buntu. Terlalu mahal.

Barangkali benar kata Toro, hidup ini serius. Apalagi menyangkut rumah, sebab rumah bukan saja perkara bangunan (house), tapi juga soal kenyamanan (home). Dan mengusahakan kenyamanan, jelaslah butuh pengorbanan. Agaknya, pengorbanan inilah yang oleh kawan tersebut disebut keseriusan.

Serius. Kawanku itu serius menghemat pengeluaran dan mencicil KPR-nya. Aku dan Agnes masih berputar-putar menentukan lokasi dan anggaran. Nantinya jika sudah kesampaian, KPR pun akan jadi keseriusan yang lain, jadi pengorbanan yang lain.

Hidup ini bukan main-main, dan bukan saatnya main-main. Percakapan dengan Toro di Radjiman membuatku teringat filosofi Driyarkara tentang permainan. Bolehlah bermain, tapi jangan bermain-main. Bermain dengan sungguh-sungguh, tapi jangan dipersungguh.

Garis Dengdek

Siang tadi, di Teater Tertutup Taman Budaya Dago, ratusan orang berkumpul merayakan peringatan Hari Ibu Internasional. Suasananya lebih mirip pesta, memang. Orang-orang berdandan menyaksikan pembacaan puisi dan tari-tarian. Tapi, tahulah semua, ada sejumput kegelisahan yang tinggal tetap.

Siapa tidak miris jika tercatat setiap tahun satu Bahasa Ibu di dunia ini sirna? Padahal jumlahnya tidak lebih dari 7 ribu dan mustahil bertambah lagi. Maklum, dunia tidak lagi bersekat sekarang. Semua berbaur di kolam yang sama.

Dan Bahasa Sunda (bahasa yang aku akrabi setahun belakangan)? Akan bernasib samakah?

Terlalu tergesa-gesa mengatakan ya. Karena di luar gedung, aku lihat ratusan buku berbahasa Sunda dijual. Macam-macam bentuknya, dari dongeng, puisi, sampai tata bahasa. Tidak bisa tidak, aku kagum juga. Literasi Sunda masih memiliki komunitas pembaca yang kuat. Di Jawa, budaya literasi seperti ini semakin samar saja. Majalah dan bacaan yang mengusungnya berguguran. Tak ada pembaca, tak ada dana.

Tapi untuk mengatakan tidak bakal punah, tunggu dulu! Tidak pendek konsekuensinya. Yang pasti, seperti kata Gubernur Ahmad Heryawan, butuh kerja keras dan kepedulian dari berbagai tidak. Dan bayangkan betapa benar-benar keras kerja yang dibutuhkan. Saat ini, yang menyerbu kita tiap hari adalah produk budaya luar yang memaksa kita menyerap, menggunakan, dan mengucapkannya.

Apa kata Sunda untuk televisi, komputer, laptop, hp, sms? Bisakah Bahasa Sunda mengganti istilah chatting, men-download, email?

Jangan-jangan semua jadi keki. Atau bahkan geli, sama gelinya dengan ratusan orang di dalam gedung itu begitu mendengar Gubernur mengganti kata garis miring dengan garis dengdek.

Dimengerti memang, tapi siapa mau?