Ketika Negara Sepakat Berkhianat (9-Habis)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (9-Habis)

Wajar Dikdas dalam Keranjang Sampah Anggaran Pendidikan

 

Enam bulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi menghapus pegecualian gaji pendidik di Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, tepatnya Jumat 12 September 2008 sore, datang sebuah naskah eksaminasi publik ke meja Mahfud M.D, Ketua MK pengganti Jimly. Yang menyerahkan, para peneliti Indonesia Corruption Watch bersama para pegiat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan.

Eksaminasi bernada keras ini tidak disiapkan asal-asalan. Dirancang sejak akhir Februari 2008, berbagai tahapan, mulai dari analisis ahli, sidang eksaminasi, hingga diskusi publik, digelar secara maraton selama tak kurang dari dua bulan. Sebagai Majelis Eksaminasi, ditunjuk lima tokoh mumpuni. Winarno Surakhmat, H.A.R Tilaar, dan Soedijarto mengkaji permasalahan dalam kepakaran mereka di bidang pendidikan, sementara Zainal Arifin M. Husein dan Supriyadi Widodo  menelisik dari sudut pandang hukum.

Ditemui akhir November lalu di Jakarta, Ade Irawan, Wakil Koordinator ICW, mengungkapkan, eksaminasi harus dilakukan karena banyak keganjilan ditemukan sejak dari proses sidang hingga pengambilan putusan. Para perumus eksaminasi percaya, ada tangan Pemerintah di balik ajuan gugatan uji materi ini.

“(Gugatan) Ini bagian dari kepentingan politik agar Pemerintahan SBY-JK tidak terus-terusan dituduh melanggar konstitusi. Cara yang paling mudah ya dengan mengubah penghitungan anggaran pendidikan. Karena tak bisa Pemerintah gugat sendiri, disuruhlah orang,” ujar Ade yang ketika itu merupakan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, divisi yang mengurusi layanan sektor pendidikan, sekaligus Sekretaris Koalisi Pendidikan.

Dalam wilayah kajian hukum, eksaminasi di antaranya menyoroti tindakan para hakim MK yang mengadili tidak sesuai dengan kewenangannya melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945. Dalam putusan perkara nomor 24/PUU-V/2007 itu, MK justru mendalilkan ketidakkonsitenan yang terjadi dalam UU Sisdiknas yang mestinya menjadi wilayah pembahasan DPR dan Pemerintah sebagai pembuat undang-undang.

Dari segi kajian filosofis dan politik pendidikan, eksaminasi memberikan banyak catatan terkait imbas buruk putusan. Tilaar, lewat surat elektronik yang ia kirim dari luar negeri awal Januari ini, menyebut dua kerugian pokok dunia pendidikan akibat putusan MK ini. Pertama, karena alokasi minimal 20 persen tersedot untuk gaji pendidik, praktis dana tersedia untuk pembangunan pendidikan hanya 10 persen saja. Jumlah ini pun bakal terus menyusut seiring laju sertifikasi guru.

Kerugian kedua adalah sulit terkontrolnya alokasi anggaran pendidikan di daerah-daerah karena amanat 20 persen tidak memiliki daya paksa lagi. Alokasi dana pendidikan di hampri semua pemda jauh melebihi angka 20 persen, namun sebagian besar dari jumlah itu merupakan gaji pendidik yang ditransfer dari APBN. Ini sebuah ironi karena di era otonomi, pemda-lah yang menjadi penentu utama kemajuan capaian pendidikan di wilayah mereka masing-masing.

Dengan cara seperti inilah pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN/APBD kehilangan makna dan jatuh sebagai pencitraan belaka karena isinya keropos. “Ini pembohongan kepada rakyat!” sebut Tilaar.

Karena putusan MK tak bisa dibatalkan atau direvisi, betapapun ganjilnya, eksaminasi dibuat untuk setidaknya mengingatkan para hakim agar mempertimbangkan hal-hal yang lebih substansial sebelum memutuskan. Termasuk di antaranya adalah efek putusan di masa mendatang.

Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan isi eksaminasi ini. Jimly Asshiddiqie, umpamanya, mengecam pendirian para pengkritik yang sampai hari ini masih saja menuding masuknya gaji guru sebagai biang segala masalah pendidikan. Ia menyebut mereka terjebak dalam rasionaliasi angka dan mengabaikan roh perumusan besaran minimal 20 persen. “Mereka seolah-olah mulia, tapi terjebak pada rasionalisasi angka. Apa beda mereka dengan JK?” ujarnya.

Rasionalisasi angka yang dimaksudkan Jimly adalah cara berpikir yang semata-mata terpaku pada hitung-hitungan angka minimal 20 persen itu. “Kalau begitu caranya ya gampang. Masukkan ini, keluarkan itu. Cara berpikirnya bukan dari roh, tapi dicari celah-celahnya,” cetusnya.

Menurut Jimly, tak ada pentingnya lagi mempersoalkan putusan MK atas gugatan uji materi UU Sisdiknas enam tahun lalu itu. “Profesor (yang masih mempersoalkan) kayak gitu goblok. Gak paham. Ia gak mengikuti dinamika pertarungan ide. Apa (putusan) itu jadi sumber masalah?” semburnya.

Jimly berpendapat, setelah amanat 20 persen itu terpenuhi, optimasi alokasi anggaran pendidikan sangat mungkin dilakukan asal Pemerintah mau berkomitmen. Caranya bukan dengan mengeluarkan gaji guru, yang merupakan komponen utama pendidikan, tapi pelan-pelan mengeluarkan pos lain yang tidak perlu. Ia mencontohkan infrastruktur, “(Infrastruktur) Gak penting-penting amat. Gedung bisa milik swasta, pemda. Bisa gandeng orangtua murid,” ucapnya.

Jusuf Kalla meyakini, alokasi minimal 20 persen anggaran pendidikan, termasuk gaji guru di dalamnya, merupakan angka yang sudah besar. Anggaran sebanyak ini cukup untuk mencapai kemajuan signifikan layanan pendidikan lewat perbaikan sekolah, peningkatan kualitas guru, beasiswa, dan bahkan pemerataan pendidikan di daerah. “Banyak yang bisa dilakukan,” katanya.

Ekonom-politisi Kwik Kian Gie termasuk mereka yang melihat secara realistis masuknya gaji guru ke dalam hitungan alokasi anggaran pendidikan. “Pernah ketika menjabat Kepala Bappenas, saya dipanggil DPR, ditanya kenapa tak bisa 20 persen. Saya jelaskan, bisa saja dipaksa 20 persen di luar gaji guru, tapi kementerian lain bakal ambruk,” ungkap politisi PDI Perjuangan yang menjabat Kepala Bappenas periode 2001-2004 tersebut ketika dihubungi 21 November sore.  

Kwik sependapat dengan niat baik perumusan alokasi minimal itu. Namun ia juga menyadari keterbatasan kemampuan keuangan negara. “Seperempat anggaran kita habis buat bayar utang. APBN kita tidak cukup duit,” ujarnya.

Apakah pendapat Kwik masih berlaku untuk APBN tahun-tahun belakangan? “Saya kira masih seperti itu,” tuturnya.

Demikianlah dua kutub pemikiran tentang penghitungan gaji pendidik lestari hingga hari ini.

 

***

Pascaputusan MK, ada dua realitas yang sulit dibantah kebenarannya. Pertama, tepat seperti salah satu pertimbangan putusan mahkamah, Pemerintah sejak APBN 2009 mampu memenuhi amanat alokasi dana pendidikan minimal 20 persen APBN/APBD berkat masuknya gaji guru. Kedua, persis sebagaimana ditakutkan tiga hakim konstitusi pembuat dissenting opinion, masih ada ragam permasalahan mendasar dalam capaian pendidikan yang membuat Indonesia tetap saja keteteran mengejar ketertinggalan dari negara lain. Apakah ada kaitan di antara keduanya?

Ade Irawan yakin ada. Amanat konstitusi memang terpenuhi, tapi bukan sebuah kebetulan jika besarannya selalu ada di batas terbawah. Tak pernah lebih barang satu persen. Semangat ‘dipas-pasin’ demikian kentara. Anggaran pendidikan, yang diperjuangkan dengan niat mulia lewat amandemen UUD 1945 dan UU Sisdiknas, saat ini tak ubahnya keranjang sampah. “Semua yang berbau-bau pendidikan diklaim sebagai anggaran pendidikan sekadar agar genap angka 20 persen itu,” tuturnya.

Ambil contoh APBN 2013 dimana Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan senilai Rp 336,8 triliun, atau sekitar 20,01 persen dari total APBN. Dari alokasi minimal ini, hanya 30 persen di antaranya yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayan serta Kementerian Agama, dua kementerian yang benar-benar mengurusi bidang pendidikan. Sebanyak 55 persen dari total APBN Rp 336 triliun ini habis ditransfer ke daerah. Sebagaian besar untuk gaji dan tunjangan guru. Ada juga pos dana abadi sebesar Rp 5 triliun yang tak boleh diotak-atik kecuali untuk kepentingan darurat. Sisanya, tak kurang dari Rp 7 triliun, menjadi bancakan 14 kementerian/lembaga lain. Termasuk di dalam daftar kementerian yang mengelola dana pendidikan ini, yang kadang sulit membayangkannya, adalah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian.

Yang juga terbaca dari postur APBN ini adalah alokasi dana untuk gaji dan tunjangan guru yang menyedot sekitar 57 persen dari total anggaran. Urusan gaji dan tunjangan guru ini tidak ada sangkut-pautnya dengan perluasan akses pendidikan atau perbaikan infrastruktur sekolah. Ia juga terbukti belum berkorelasi langsung dengan peningkatan mutu proses belajar-mengajar di sekolah, meski program sertifikasi diniatkan Pemerintah untuk menyasarnya. Apakah guru yang makin sejahtera, makin berkualitas mengajarnya? Korelasi antara keduanya sama sumirnya dengan korelasi antara alokasi raksasa anggaran pendidikan dalam APBD dengan capaiannya di lapangan.

Laporan terbaru Bank Dunia “Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia” yang dirilis 14 Maret 2013 lalu menunjukkan kegagalan program sertifikasi memberikan dampak pada perbaikan mutu pendidikan. Melakukan penelitian di 240 SD dan 120 SMP di seluruh Indonesia sejak 2009, Bank Dunia mendapati tidak adanya perbedaan prestasi mengajar yang signifikan antara guru yang sudah tersertifikasi dengan yang belum. Tolok ukurnya berupa perbandingan hasil tes yang melibatkan 39.531 siswa untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, dan Bahasa Inggris.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri sebenarnya telah memperoleh kesimpulan serupa lewat dua ujian yang mereka selenggarakan sebagai bagian proses sertifikasi tahun ini. Dalam uji kompetensi awal (UKA) yang diikuti 281 ribu guru pada akhir Februari 2012 lalu, diperoleh rata-rata nilai nasional 42,25 dari nilai maksimal 100. UKA merupakan tes menjelang proses sertifikasi. Setelah para guru mengikuti pelatihan, dilangsungkan ujian kompetensi guru (UKG). Hasilnya toh tak banyak berbeda. Rata-rata nilai nasional hanya naik 3,57 poin.

Imbas dari penganggaran model bancakan semacam ini adalah menyempitnya dana yang benar-benar dialokasikan untuk pengembangan pendidikan. Ujung-ujungnya, layanan pendidikan terbengkalai, bahkan sejak dari layanan paling mendasar yang dibebankan kepada Pemerintah: Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.

Salah satu orang yang percaya bahwa Wajar Dikdas Sembilan Tahun sejatinya belum tuntas dan bahwa cekaknya anggaran yang jadi penyebabnya, adalah Suyanto. Ini sebuah ironi karena ketika klaim tuntas muncul pada 2008, ia merupakan orang nomor satu di Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Departemen Pendidikan Nasional, direktorat yang paling bertanggung jawab atas penuntasan program nasional tersebut.

Ketidaktuntasan, menurut Suyanto, terlihat mencolok dari segi kualitas. Ia berpegangan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang rinciannya ditetapkan Pemerintah lewat Permendiknas Nomor 15 tahun 2010 sebelum direvisi dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2013 tentang SPM Pendidkan Dasar di Kabupaten/Kota.

Peraturan ini berisi 27 item standar layanan yang amat mendasar. Pembagiannya, 14 item diserahkan pemenuhannya kepada kabupaten/kota, di antaranya ketersediaan satuan pendidikan dalam jarak terjangkau, jumlah maksimal peserta didik dalam setiap rombongan belajar, keberadaan laboratorium IPA, serta ketersediaan dan kualifikasi guru, kepala sekolah, dan kepala sekolah. Sisanya, 13 item standar layanan, diserahkan ke sekolah. Termasuk di antaranya ketersediaan buku pengayaan, penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) oleh setiap guru, serta supervisi rutin oleh kepala sekolah.

Faktanya, hingga 2011, berdasarkan data yang dimiliki Kementerian, masih terdapat 44,84 persen SD yang belum sanggup memenuhi SPM. Di jenjang SMP, 26 sekolah masuk kategori paling bawah ini. “Yang harus diingat, kita ini baru bicara yang minimal lho ya. Minimal!” ujar Suyanto ketika ditemui di Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Oktober lalu. 

Imbas dari kondisi semacam ini adalah ketertinggalan Indonesia dalam capaian dan prestasi pendidikan. Suyanto merujuk hasil berbagai tes dan riset internasional, seperti PISA dan TIMMS, yang selalu menempatkan Indonesia di urutan bawah.

“Dari sisi mutu, Wajar Dikdas dalam keadaan bahaya. Tapi mutu itu kan wilayah abu-abu. Mereka yang menentukan politik anggaran mudah saja pura-pura tak lihat itu,” katanya.

Suyanto faham betul dinamika politik penganggaran pendidikan. Ketika menjabat Rektor UNY, ia diminta Mendiknas Yahya Muhaimin, sahabatnya sejak kuliah di Boston, Amerika Serikat, mengetuai Komite Reformasi Pendidikan pada 1999. Mewakili Pemerintah, komite ini terlibat aktif dalam penyusunan UU Sisdiknas bersama Komisi VI DPR. Ketika tugasnya di KRP tuntas, Suyanto masuk ke birokrasi Depdiknas, atas ajakan Bambang Sudibyo, hingga pensiun sebagai Dirjen Dikdas pada April 2013 lalu. Bambang, pengganti Yahya, dan Suyanto berkawan baik sebagai sesama akademisi-aktivis pada masa-masa menjelang reformasi di Yogyakarta. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh membantah Pemerintah mengabaikan penuntasan Wajar Dikdas. Ia mengklaim, penuntasan terus dikerjakan dan tak ada selesainya karena akan selalu ada pendatang baru di Dikdas. Jumlahnya per tahun sekitar 3 juta anak.

Mantan Rektor Institut Teknologi Sebelas November (ITS) Surabaya yang gemar bercerita ini lantas mengajukan analogi. “Kalau kita punya lima bersaudara, kakak paling tua gak naik-naik kelas, apa adiknya tidak boleh masuk sekolah atau nyalip? Kan tidak?” ujar Nuh ketika ditemui di ruang kerjanya di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, 15 November lalu.

Nuh tengah bicara tentang program andalannya, Pendidikan Menengah Universal (PMU). Menjadi semacam rintisan Wajar Dikdas 12 Tahun, program ini digulirkan lewat kebijakan pengiriman bantuan operasional sekolah (BOS) yang diklaim sukses diterapkan di jenjang SD dan SMP sejak 2005 lalu.

Menangkis tudingan penelantaran kualitas, Nuh menyodorkan tafsirannya atas undang-undang. “Kalau Sampeyan baca di undang-undang, yang disebut hanya layanan Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Kita tidak bisa di undang-undang sebut kualitas harus setara dengan x, y, z. Karena kualitas tidak akan pernah berhenti. Istilahnya continous,” katanya.

Entah Undang-undang apa yang dimaksudkan Nuh, tapi jika menyimak UU Sisdiknas, ada Pasal 11 ayat (1) yang jelas-jelas mewajibkan Pemerintah ‘menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara’. Rincian atas apa yang disebut ‘pendidikan yang bermutu’ ini tentu saja menjadi tugas peraturan di bawah undang-undang dan seorang menteri, seperti Nuh, adalah orang yang paling berwenang merumuskannya.

Meski membantah pengabaian penuntasan Wajar Dikdas, Menteri Nuh secara tidak langsung mengakui keterbatasan anggaran pendidikan. Ini yang membuatnya mau tak mau harus menyusun prioritas.

Hamid Muhammad, Dirjen Dikdas pengganti Suyanto, melihat dengan kacamata lain. Ia mengaku terkejut mendapati betapa keroposnya Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Dari sisi kuantitas, jumlah lulusan SD yang tak lanjut ke SMP masih sekitar 8 persen. Artinya, dari 4 juta lulusan SD per tahun, 320-an ribu di antaranya gagal meneruskan. Belum lagi mereka yang putus di tengah jalan. “Setelah saya bedah, kasihan SD itu,” ucapnya seusai konferensi pers Hari Guru Nasional, 22 November siang, di Hotel Anggrek, Jakarta.  

Menurut Hamid, untuk benar-benar menuntaskan Wajar Dikdas Sembilan Tahun ini, tidak ada cara lain kecuali tetap menjadikannya prioritas pendidikan nasional yang dimulai dengan penyediaan alokasi dana yang besar. Alokasi dana besar mutlak dibutuhkan karena Hamid berpendapat, sama seperti Suyanto, ketuntasan bukan hanya urusan kuantitas, tapi juga kualitas.

“Mutu itu bukan hanya perkara memenuhi fasilitas. Bukan hanya menyekolahkan guru. Harus ada perubahan budaya mengajar, manajemen sekolah. Itu tidak mudah. Kalau fasilitas bisa kita kejar. Tapi bagaimana fasilitas bisa menunjang proses pembelajaran dengan baik, itu masalah sendiri,” paparnya.  

Yang didapati Hamid sekarang jauh benar dari gagasan idealnya. Persentase anggaran untuk Ditjen Dikdas terus menyusut, dan itu menerbitkan sebuah penyesalan. “Kadang-kadang saya ikut bersalah meluncurkan PMU. Habis dulu rasa-rasanya SD-SMP sudah tuntas. Ternyata keropos semua,” ungkapnya.

Sebelum menjabat Dirjen Dikdas, Hamid merupakan Dirjen Pendidikan Menengah. Ia merupakan orang yang menyiapkan pengguliran rintisan PMU pada tahun ajaran 2013/2014 lalu. Begitu PMU dipastikan menjadi program nasional yang menyedot dana besar dari APBN karena diberlakukan di seluruh SMA/SMK di Indonesia mulai tahun ajaran 2014/2015, Hamid digeser ke Ditjen Dikdas. Sebagai pengganti, Nuh menunjuk Achmad Jazidie, koleganya di ITS Surabaya yang ia tarik ke Kementerian pada 2010 lalu.

 

***

Mencermati dinamika penganggaran pendidikan sejak amandemen UUD 1945, Roy Salam, peneliti Indonesia Budget Center (IBC), sampai pada satu kesimpulan: ketiadaan komitmen negara, dalam hal ini Pemerintah dan DPR,  untuk memprioritaskan pengembangan pendidikan. Riwayat panjang upaya pemenuhan amanat alokasi minimal 20 persen APBN/APBD justru lebih kental nuansa politiknya daripada kesungguhan segenap elemen bangsa mencapai cita-cita yang sama.

Ketiadaan komitmen inilah yang, menurut Roy, membuat setiap Pemerintahan berkuasa, dari manapun asal partai politiknya, selalu berkelit menyediakan dana besar bagi pendidikan. “Karena pendidikan itu investasi jangka panjang. Kita yang memuIai program, bisa-bisa orang sesudah kita yang memetik hasilnya. Ini tidak bagus untuk investasi politik yang siklusnya hanya lima tahunan. Jelas, pendidikan bakal selalu kalah bersaing dengan pengembangan ekonomi, dengan perbaikan infrastruktur,” ujar Roy yang juga aktif di Koalisi Pendidikan, ketika dihubungi 3 Desember lalu, di Jakarta.

Dengan logika semacam ini, bisa dijelaskan mengapa PDI Perjuangan resisten selama perumusan amandemen UUD 1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, mengapa justru orang-orang Golkar, parpol yang tersingkir bersama Orde Baru, terlihat paling ngotot menggolkannya. Dengan logika yang sama, dapat dijelaskan mengapa Pemerintahan berikutnya, ketika Golkar kembali ke lingkaran kekuasaan, memilih pindah haluan menyepakati pemretelan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.

Roy berpendapat, keterbatasan kemampuan keuangan tidak sepantasnya dijadikan alasan menunda atau bahkan mengabaikan permrioritasan pengembangan pendidikan. “Banyak cara bisa dipilih Pemerintah. Mereka bisa lakukan negosiasi utang, menggenjot pajak, memberantas korupsi. Kenapa berjuangnya tidak di situ? Kenapa justru mengakal-akali amanat 20 persen itu?” ucapnya.

Mohamad Surya menilai, negara selama ini memegang prinsip keliru. Pembangunan ekonomi didahulukan dari pengembangan pendidikan. Padahal, ia meyakini, justru pendidikan yang harusnya jadi titik berangkat. Pendidikan meningkat, tenaga kerja bermutu, ekonomi meningkat. “Apakah mendidik harus menunggu ekonomi baik? Tidak. Semiskin apa pun, pendidikan harus tetap jalan,” katanya.

Anwar Arifin, yang turut membidani rumusan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas untuk kemudian menyaksikannya sekarat di meja MK, menyebut ajuan gugatan uji materi ayat pengecualian gaji pendidik sebagai puncak khianat negara lewat persekongkolannya dengan pengacara. Ia menyebut terkabulkannya gugatan ini sebagai keanehan yang tak lagi menjadi aneh karena keganjilan serupa terlalu sering terjadi di Indonesia. “MK itu kan maha kuasa,” sindir Arifin.

Benar kata Arifin. Bahkan setelah Ketua-nya tertangkap tangan menerima suap, MK tetaplah ‘maha kuasa’.  Orang bisa belasan tahun berdebat tentang kebenaran putusannya, tapi tak ada satu pun yang bisa dilakukan untuk mengubahnya.***

 

 

2 thoughts on “Ketika Negara Sepakat Berkhianat (9-Habis)”

  1. Pernyataan terakhirmu yang membuatku tersenyum pakdhe.. Ketika seorang Ketua MK saja korupsi, lalu siapa lagi yg bisa kita percayai?
    Masalah sertifikasi juga, aku pernah mendengar cerita ini dari sudut pandang pegawai TU, yg mengeluh karena menurutnya pekerjaannya jauh lebih banyak -bahkan sampai dibawa pulang ke rumah- dibandingkan para guru tersertifikasi yg ikut pulang begitu kelas bubar. Dari sini, aku ragu akan kualitas sertifikat itu. Atau, mungkin gaji pegawai TU dan penjaga sekolah juga dimasukkan ke anggaran pendidikan saja, supaya lebih sejahtera.

    1. Benar belaka bro. persoalan sertifikasi guru ini amat menarik juga. ditarik ke belakang, ini jadi semacam puncak gunung es perlakuan ‘aneh’ pemerintah thd guru. banyak persoalan sepanjang itu. kalau menurutku, nada utamanya adalah lagi2 ketidakseriusan pemerintah membina guru, menjadikannya aktor utama dalam pengembangan pendidikan. yang kemudian jadi korban ya masyarakat luas sebagai konsumen pendidikan yang haknya dijamin konstitusi.
      tema yang sangat menarik.

Leave a comment