Ketika Negara Sepakat Berkhianat (8)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (8)

Mengapa (bukan) Kalla

 

Sulit bagi Mohamad Surya untuk memahami gugatan uji materi Pasal (49) Ayat (1) UU Sisdiknas semata-mata urusan kesejahteraan guru dan dosen. Karena itu, sulit pula baginya mengamini tindakan heroik trio Sulawesi Selatan: Rahmatiah, Badryah, dan Ali Abbas.

Mantan orang nomor satu di PGRI tersebut bahkan menyebut putusan MK sebagai kecelakaan. Sebuah kecelakaan yang fatal karena imbas buruknya harus dipikul masyarakat luas hingga sekarang.

“Tak ada pengaruhnya gugatan ini dengan kesejateraan guru. Seolah-olah jika dikecualikan dari alokasi minimal 20 persen, kesejahteraan pengajar tidak terjamin. Seolah negara bisa mengelak bertanggung jawab. Bukan begitu logikanya,” ujar Surya ketika ditemui di kantor DPD RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat, Jalan Mundinglaya 12, Kota Bandung, 21 Oktober siang.

Surya, yang menceburkan diri dalam kepengurusan PGRI sejak akhir 1950-an, mengerti betul seluk-beluk kesejahteraan pendidik, terutama guru. Dipercaya sebagai Ketua Umum selama dua periode, 1998-2008, ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas unjuk rasa besar-besaran yang pertama kalinya dilakukan oleh kelompok pendidik ini pada 18 April 2000 lalu. Tak kurang dari 30 ribu guru mengepung kompleks DPR/MPR dan Istana Negara, Jakarta.

Masyarakat tercengang. Guru yang selama puluhan tahun tunduk sebagai objek Pemerintahan represif zaman Orde Baru, ternyata bisa turun ke jalan dan berteriak-teriak kencang menuntut perbaikan kesejahteraan. “Kalau ada satu saja guru yang celaka ketika itu, sudah, bakal digantung saya,” kenang Surya.

Surya percaya, ada kepentingan lain yang menunggangi ajuan gugatan ke MK, bersembunyi di balik niat mulia memperjuangkan kesejahteraan guru. Ia mencermati dinamika politik penganggaran dalam tahun-tahun kritis itu dan segera mengetahui bahwa Pemerintah sendirilah yang jadi penumpang gelap.

Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah lama membuat gerah Pemerintah. Sejak disahkan pada 2003, mereka selalu gagal memenuhi amanatnya. Akibatnya, tekanan bertubi-tubi dialamatkan kepada Pemerintah. Dari DPR, muncul Kaukus Pendidikan yang disokong 200 anggota. Meski membantah kaitan gerakan ini dengan upaya pemakzulan, Ketua Kaukus Pendidikan Slamet Effendi Yusuf tak menyangkal bahwa mereka memang bertujuan memberi banyak tekanan pada Pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi. “Kami menagih komitmen. Penganggaran pendidikan ini soal mau atau tidak mau,” katanya.

Tekanan lebih kuat diberikan gerakan masyarakat sipil lewat tiga kali ajuan gugatan uji materi UU APBN tahun 2005-2007. Tiga putusan MK yang menyatakan inkonstitusionalitas ketiga UU APBN itu telah membuat panas situasi politik karena yang dilanggar Pemerintah bukan main-main, melainkan konstitusi sendiri. Berseliwerannya isu pemakzulan tak dapat dihindari lagi. Surya mengaku telah beberapa kali mengkomunikasikan persoalan ini ke Presiden langsung. Salah satunya yang ia ingat terjadi pada Peringatan Hari Guru Nasional di Pekanbaru pada 25 November 2007.

“Ketika itu saya sampaikan: ‘Pak, ini 2007. Bapak mau maju lagi. Gugatan uji materi UU APBN yang dimenangkan di MK itu perkara serius lho’,” ujar Surya.

Apa jawaban SBY? “Beliau hanya berdehem sambil mengangguk-anggukkan kepala.”

Yang tercatat kemudian, Presiden SBY menggunakan panggung untuk panjang-lebar berpidato membahas topik kesejahteraan guru. Ia mengaku telah meminta jajarannya agar bersama-sama dengan DPR ‘merumuskan agar kenaikan anggaran pendidikan disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru’.

Ketika SBY berdehem sambil mengangguk-anggukkan kepala di Pekanbaru itu, sidang gugatan uji materi Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah bergulir di MK. Surya tidak melihatnya terpisah dari dinamika politik penganggaran pendidikan dalam penyusunan APBN selama tiga tahun belakangan. Orang-orang Sulawesi Selatan yang diboyong ke ruang sidang dengan peran mereka masing-masing mengerucutkan tudingan Surya ke satu sosok sentral di Pemerintahan: Jusuf Kalla, sang Wakil Presiden!

“JK tak suka dengan kalimat itu (pengecualian gaji pendidik). Saya tahu persis, di berbagai forum ia selalu omong. Katanya, anggaran belum mampu,” ucap lelaki kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 8 September 1941 yang saat ini masih tercatat menjabat sebagai anggota DPD tersebut.

Surya tidak sendirian menuding Pemerintah dan Kalla. Abdoel Aziz Hoesein, Soedijarto, Jimly Asshiddiqie, dan masih banyak lagi tokoh melakukan hal yang sama. “JK selalu bilang, ‘You gimana. Duit habis buat pendidikan. Itu harus termasuk gaji dong’. Karena beliau orang pinter, beliau gerakkan ini. Keputusan yuridis harus dilawan dengan keputusan yuridis. Beliau tahu persis itu,” ujar Aziz Hoesein.

Soedijarto juga terang-terangan menyebut Kalla. “Saya tahu di belakangnya ada Pak JK. Ia memang paling lihai. Ada dua kebijakannya yang paling membuat saya kecewa: gugatan ini dan Ujian Nasional,” tuturnya.

Tudingan bahkan datang dari Anwar Arifin, bekas anak buah Kalla di Golkar yang mengetuai Panja RUU Sisdiknas. Topik kesejahteraan guru, ia yakini, hanyalah bagian dari siasat. Tujuan utama gugatan yang sebenarnya adalah pemenuhan amanat konstitusi menyediakan alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN. Pemenuhan ini penting segera dilakukan untuk menjaga kredibilitas Pemerintah sekaligus meredam isu pemakzulan menjelang tahun politik 2009. “Sebagai Wapres, JK memikirkan itu. Tentu ia berpikir menyelamatkan Pemerintahannya,” ucap Arifin yang tersingkir dari Partai Beringin sejak Pileg 2009, setahun setelah proses gugatan di MK.

Jimly menyebut gugatan rekayasa ini sebagai bagian dari pertarungan idenya dengan Kalla perihal penganggaran pendidikan sejak proses amandemen UUD 1945, dilanjutkan penyusunan UU Sisdiknas. Puncaknya terjadi pada Agustus 2008, enam bulan setelah putusan pengguguran Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas itu. Tepatnya pada 13 Agustus, MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan PGRI. UU APBN 2008 dinyatakan inkonstitusional karena gagal menyediakan anggaran pendidikan 20 persen. Putusan itu juga memaksa pemenuhan amanat konstitusi dilakukan sejak APBN 2009. Dari sinilah masalah besar muncul.

“Pidato Presiden yang disiapkan untuk 16 Agustus sudah dicetak dan besaran anggaran pendidikan tidak 20 persen. Harus dirombak. Seluruh kabinet ribut. Tak bisa tenang, dari presiden sampai direktur kacau selama seminggu. Itu juga yang menyebabkan mereka ngamuk. Saya tak boleh dipilih lagi jadi ketua MK. Ada operasi,” ungkap Jimly.

Jimly mengaku sebenarnya berniat tak mencalonkan lagi jadi hakim konstitusi setelah periode pertamanya usai, tapi parpol-parpol besar membujuknya. Pada 16 Agustus, ia dilantik bersama beberapa hakim baru pengganti mereka yang pensiun. Pada 19 Agustus, dilakukan pemilihan ketua. Jimly kalah oleh Mahfud M.D., sang pendatang baru. “Tiga hari itu direkayasa. Ada JK di sana. MK itu berhasil dalam lima tahun. Tiba-tiba orang baru muncul dan menang,” tutur Jimly yang akhirnya memilih mengundurkan diri dari MK dua bulan berselang.

Orang-orang ini yakin, bukan Kalla yang menganggukkan kepala terhadap inisiatif Ali Abbas, pengacaranya. Justru sebaliknya yang terjadi. Sama seperti ketika membela kepentingan bisnis keluarga Kalla, sama seperti ketika membela Kalla dari tuntutan Gus Dur, kali ini pun Ali yang mengangguk.                                                                                       

 

***

Tak sulit melacak jejak ketidaksetujuan Kalla atas rumusan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas. Penolakannya terhadap rumusan anggaran pendidikan yang mengecualikan gaji guru dan pendidikan kedinasan terekam di banyak media. Salah satunya yang mencolok adalah omongannya pada Senin 20 Agustus 2007, hampir tepat sebulan sebelum pengajuan gugatan uji materi di MK.

Kantor Berita Antara mencatat ketika itu Kalla tengah memberikan pengarahan kepada 80 guru yang hendak berangkat studi banding ke negara ASEAN. Dipaparkannya kontradiksi antara capaian Pemerintah dalam menaikkan secara signifikan anggaran pendidikan selama tiga tahun terakhir dengan kesejahteraan guru. Bahasan yang arahnya sama persis dengan pidato Presiden SBY di Pekanbaru.

“Dalam UU, gaji guru tidak masuk dalam kategori anggaran pendidikan. Kalau tidak masuk kan justru tidak seimbang, dimana sekolah bisa mewah tapi gaji guru tidak masuk dalam kenaikan itu,” sesal Kalla.

Kalla lantas mengemukakan ketidakmampuan APBN dalam menopang tuntutan alokasi anggaran pendidikan yang demikian besar. “Itu bisa saja kita nekat naikkan, sekarang kita penuhi anggaran 20 persen itu, tetapi harus memotong anggaran lain, misalnya anggaran kesehatan, PU,” katanya.

Tempo, dalam situs online mereka, juga merekam omongan Kalla dalam peristiwa yang sama. “Jadi perlu dipikirkan juga kalau gaji guru ini masuk ke anggaran pendidikan,” kutip Tempo.

Salah seorang bekas elite Partai Golkar mengungkapkan, sejak menjabat Wakil Presiden dan kemudian Ketua Umum Partai Golkar pada akhir 2004, Kalla berulang kali mengutarakan keberatannya atas alokasi dana pendidikan 20 persen ini kepada para anggota partai. Dalam sebuah rapat tak lama setelah terpilih, ia ingat betul, Kalla bilang angka itu tidak masuk akal karena bakal terus membesar.

“Seluruh peserta diam. Hanya Slamet Effendi Yusuf yang berdiri, bilang bahwa usul 20 persen itu yang dorong Partai Golkar dan telah jadi keharusan konstitusi. JK jawab: ‘Gampang, UUD diamandemen saja’,” ucapnya ketika ditemui pertengahan November lalu di Jakarta.

Slamet Effendi, ketika dikonfirmasi, tidak membantah sekaligus tidak membenarkan kesaksian ini. “Jangan dari saya,” katanya.

Kalla berhasil dua kali dimintai konfirmasi setelah sebulan lebih permintaan bertemu terkendala kepadatan jadwalnya. Pertama, Ketua PMI itu dicegat di kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Senin, 18 November 2013. Sehari setelahnya, lewat salah satu orang kepercayaannya, ia menyediakan waktu selama 10-an menit untuk ditelepon. Dalam dua wawancara itu, Kalla tak menyembunyikan ketidaksetujuannya terhadap ayat pengecualian gaji pendidik dalam UU Sisdiknas tersebut.

“Ini bahaya. Anggaran pendidikan naik terus, sementara guru tidak masuk bagian yang naik itu. Kasihan guru. Kalau gaji masuk belanja PNS, ya segitu-segitu saja. Kalau masuk 20 persen itu, ia dapat tunjangan,” kata Kalla yang turut menandatangani pengesahan UU Sisdiknas sebagai Menko Kesra pada 2003 lalu.

Pengecualian gaji guru juga dinilai Kalla telah menyalahi definisi pendidikan secara utuh sebagaimana dinyatakan MK dalam pertimbangan putusan mereka. “Inti pokoknya, guru apakah bukan bagian pendidikan? Guru adalah sokoguru pendidikan. Tidak adil kalau justru dikecualikan,” ucapnya.  

Meski secara terbuka mengakui ketidaksetujuannya, Kalla mengelak dari semua kecurigaan dan tudingan yang menyebutnya sebagai orang di balik gugatan uji materi ayat pengecualian itu.  Keterlibatan orang-orang asal Sulawesi Selatan, termasuk pengacara kepercayaannya Ali Abbas, tak lantas membuatnya menyerah masuk kotak. “Kenapa memang kalau Ali Abbas yang gugat? Boleh-boleh saja kan ia,” tuturnya.

Mengulang skenario yang disampaikan Ali, politikus kawakan itu memposisikan diri sebatas menganggukkan kepala. “Ali Abbas datang, tanya. Saya sependapat bahwa gaji guru masuk pendidikan,” ujar Kalla yang mendeskripsikan pengajuan gugatan ini sebagai tindakan ‘mencocokkan saja UU dengan UUD’.

Kalla bersikeras, tak ada motif titipan Pemerintah dalam ajuan gugatan ke MK. Dua kali ditanya, ia menyebut kemampuan negara memenuhi alokasi dana pendidikan minimal 20 persen sejak APBN 2009 sebagai imbas, bukan tujuan. “Itu otomatis saja, imbasnya. Karena gaji guru masuk, anggaran pendidikan bisa 20 persen,” katanya.

Perihal aksi balas dendam menyingkirkan Jimly dari kursi ketua MK, Kalla juga mengajukan bantahan. Ia mengaku tak mencampuri urusan pemilihan. “Yang pilih kan mereka sendiri, sembilan orang hakim itu. Saya tidak terlibat apa-apa,” tuturnya.

Penyangkalan jejak Kalla, tak mau kalah jumlah dari tudingan keterlibatannya, berdatangan. Ali Abbas bukan hanya pasang badan sebagai pemilik inisiatif gugatan. Dalam wawancara kedua akhir November lalu, ia buru-buru membantah kedekatan hubungan antara Kalla dengan almarhum Arifin Soeria Atmadja, salah satu saksi ahli yang ia klaim ia pilih sendiri. Ali mengaku tak tahu dan tak ingat lagi dukungan yang diberikan mantan Wapres itu untuk sebuah penelitian yang dilakukan Arifin di Malaysia tak lama setelah putusan sidang MK, Februari 2008. Padahal dalam wawancara tiga pekan sebelumnya, ia sendiri yang mengungkap dukungan Kalla. “Didukung Pak JK. (Penelitiannya) Tentang apa, saya lupa,” ujarnya ketika itu.

Andi Mattalatta, yang membacakan sikap ganjil Pemerintah dalam sidang, memilih tak mau memastikan peran Kalla dalam gugatan ini. “Saya tidak tahu. Saya tidak punya kompetensi untuk menjawabnya,” ujarnya seraya menjanjikan pengakuan blak-blakan nanti sesudah genap 10 tahun tak lagi menjabat menteri.

Laica Marzuki kelihatan kesal ketika ditanya perihal tudingan keterlibatan Kalla. “Bung membuat reportase jangan gitu. Tolong jangan memfitnah macam-macam. Kasihan Pak JK,” tulisnya lewat pesan pendek.

Senin siang itu Kalla tengah menunggu kedatangan Hary Tanoesoedibjo, bos MNC Group sekaligus calon wakil presiden dari Partai Hanura, yang hendak menyalurkan bantuan untuk korban Badai Haiyan di Filipina lewat PMI. Para wartawan ramai-ramai mengorek keterangan seputar kesaksiannya dalam penyelidikan skandal Bank Century di KPK serta isu pencalonannya sebagai presiden oleh PKB di pilpres nanti. Kematangan dan kelincahannya berpolitik membuat nama Kalla awet diperhitungkan sebagai salah satu tokoh nasional paling berpengaruh hingga hari ini.

Kalla boleh membantah tudingan sebagai inisiator gugatan ke MK, tapi ia, sebagai Wakil Presiden ketika itu, mengakui memberikan kata sepakat. Pertanyaannya sekarang, sebesar apa sesungguhnya dampak gugatan uji materi sarat keganjilan yang disepakati Kalla dan yang dikabulkan oleh MK ini terhadap ketertinggalan capaian pendidikan nasional kita sehingga tak sedikit orang yang mengutuknya, meminjam istilah Mohamad Surya, sebagai sebuah kecelakaan?***

 

 

 

One thought on “Ketika Negara Sepakat Berkhianat (8)”

Leave a comment