Ketika Negara Sepakat Berkhianat (7)

Ketika Negara Sepakat Berkhianat (7)

Siasat Sang Advokat

 

Ditemui di ruang kerjanya di lantai dua Kantor Pusat PT. (Persero) Kawasan Berikat Nusantara, awal November lalu, Ali Abbas tampil trendi dan segar. Rompi yang melapisi kemeja kotak-kotak biru serasi benar dengan celana panjang dan sepatu kulit warna coklat tuanya. Warna putih yang telah menyapu seluruh helai rambut kepala dan merambat ke sebagian alis tak sanggup memaksanya kelihatan renta di awal usia kepala tujuh.

Oleh BUMN yang beroperasi di kawasan macet dan berdebu di Jalan Raya Cakung-Cilincing, Jakarta Utara itu, Ali disewa sebagai advokat perusahaan dengan durasi satu tahun per April lalu. Jadwal padat menunggunya. Di papan putih yang tertempel di dinding tak jauh dari meja kerja, tertulis empat agenda sidang di PTUN Jakarta yang harus ia hadiri dalam tiga pekan ke depan.

Diajak bicara tentang gugatan uji materi Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas di MK enam tahun lalu, Ali menyambut dengan tangan terbuka. Tanpa berbelit ia mengaku bahwa ia yang meminta Rahmatiah, adiknya, maju sebagai Pemohon Pertama. Rumahnya di Kompleks Gema Pesona Estate, Depok, ia sediakan sebagai tempat singgah sebelum bersama-sama berangkat ke MK.

Lewat sang istri, Nurhayati, Ali lantas meminta Badryah menjadi Pemohon Kedua. Nurhayati dan Badryah sama-sama guru besar Unhas yang bersahabat sejak pertengahan 1970-an. Profesi Badryah sebagai dosen PNS, melengkapi profesi guru PNS yang dimiliki Rahmatiah, tepat dipakai untuk memenuhi kedudukan hukum pemohon karena ayat yang digugat menyasar pendidik. “Kan gak enak saya suruh dia (Nurhayati) yang gugat. Gak enak lah,” ucap Ali.

Hasil sempurna di MK dirancang Ali secara matang. Untuk saksi ahli, dipilihnya dua akademisi mumpuni: Arifin Soeria Atmadja dan Satya Arinanto. Keduanya guru besar Fakultas Hukum UI, sama seperti Jimmly Asshiddiqqie. Satya bahkan pernah bekerja bersama Jimmly dalam Tim Ahli Hukum dan Politik bentukan MPR selama proses amandemen UUD 1945.

Arifin meninggal Agustus lalu, sementara Satya tidak bersedia menyediakan waktu untuk wawancara. Perihal peran dan pemikirannya selama proses uji materi di MK, ia merasa apa yang tertulis di risalah sidang sudah lengkap. “Dari saya cukup itu saja,” tulisnya lewat pesan pendek ketika tengah berada di luar negeri, pertengahan November lalu.

Yang tak ketinggalan disiapkan Ali adalah sebuah tim pengacara yang tangguh. Lewat Zujan Marfa, keponakannya, ia berhasil menggandeng Elza Syarief untuk menjadi ketua. Zujan merupakan salah satu asisten kepercayaan Elza. Dalam tim keroyokan ini, selain adik Ali, Asmaun Abbas, turut bergabung Triharso Utomo, Syamsul Huda, dan Suniati.

Nama dan reputasi Elza tengah meroket ketika itu. Advokat bekas anak buah pengacara senior O.C Kaligis ini menangani banyak kasus yang melibatkan keluarga Cendana. Pada Agustus 2007, berbarengan dengan dimulainya sidang di MK ini, Elza memimpin tim pembela Hutomo “Tommy” Mandala Putra, komisaris PT. Goro Batara Sakti, menghadapi Perum Bulog dalam kasus tukar guling gudang Bulog seluas 150 hektare di Marunda, Jakarta Utara. Akhir perkara ini menjadi kisah sukses bagi Elza, dan juga Ali yang turut tergabung dalam tim pembela, setelah PN Jakarta Selatan menolak semua gugatan Bulog dan malahan mengabulkan gugatan balik Tommy yang menuntut ganti rugi imaterial Rp 5 miliar.

Melabeli Ali sebagai “teman baik”, Elza bersedia membantu tanpa menarik sepeser pun biaya untuk jasanya. Kepiawaiannya bersilat lidah terbukti ampuh di ruang sidang sebagaimana ia ceritakan kembali. “Saya ingat, seorang pejabat kementerian berapi-api menentang. Saya lawan pakai beberapa kata, lemes ia,” ujarnya diikuti derai tawa ketika ditemui Jumat (25/10) lalu di kantor hukumnya di sudut Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat.

Sepanjang hari itu Elza seperti tak kehabisan tamu, mulai dari rombongan koleganya di Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) hingga antrean klien. Tercatat tak kurang dari 20 perkara di pengadilan, di luar sidang kasasi, yang sedang ditangani kantor hukumnya. Salah satunya, perkara kakap yang mendapat sorotan luas secara nasional dalam dua tahun terakhir: megakorupsi Nazarrudin.

Dalam pemikiran Elza, aturan mengeluarkan gaji guru dari alokasi minimal 20 persen ibarat vonis bersalah bagi guru. Padahal, sama persis dengan pengakuan Ali Abbas, dia percaya bahwa guru merupakan komponen utama pendidikan. Kesejahteraan mereka harus dijamin karena “tidak bisa nunggu sebulan gak makan”.

“Jangan salahkan guru. Ya ampun, mereka itu manusia! Mereka yang bertanggung jawab membentuk manusia. Apa arti gedung kalau diisi orang tidak bermoral? Di emperan, asal ada atap, (orang) bisa belajar,” kata Elza.

Elza membantah semua tudingan yang menyebut perkara ini penuh rekayasa. Penolakan dari PGRI, organisasi guru terbesar, dia nilai tak lantas membuat gugatan ini ganjil. Suara PGRI selama persidangan hanyalah suara elite-nya saja. Mereka yang, menurut Elza, bercokol terus menikmati kesejahteraan karena memiliki jaringan dan kesempatan memanfaatkan organisasi untuk memperoleh uang lebih.

“Elite PGRI dulunya guru, tapi belum tentu ingat dengan nasib guru. Sama saja Anda lihat anggota DPR/DPRD yang dulunya rakyat. Setelah dapat kesejahteraan, apa (mereka) masih ingat rakyat?” ujar Elza yang setahun setelah putusan perkara ini berkompetisi dalam Pemilihan Legislatif lewat Partai Hanura, namun kandas di ruang sidang MK.

Dengan cerdik, pengacara kelahiran Jakarta 24 Juli 1957 ini juga menangkis tudingan Jimmly perihal adanya rekayasa. “Saya tidak kenal Pak Bambang (Mendiknas Bambang Sudibyo), tak kenal Pak JK. Di MK, (saya) juga tidak kenal siapa-siapa, tidak dapat duit. Kalau lihat rekayasa, kenapa Pak Jimmly kabulkan?” ucapnya.

Melengkapi kecerdikannya, Elza balik bertanya di ujung wawancara. “Kok baru sekarang ada curiga-curiga sih? Kenapa? Saya jadi curiga juga. Selama ini (saya) polos-polos saja,” ujarnya.

Entah kepolosan seperti apa yang dimaksudkan Elza sebab sulit mengamini kalau dia tidak mengenal Kalla setelah berulang kali berkolaborasi dengan Ali Abbas. Lagipula, bukankah dia bergabung dengan Hanura yang pada tahun-tahun tersebut merintis koalisi dengan Golkar untuk mengusung pasangan Kalla-Wiranto untuk pilpres 2009? Dalam hajat politik ini, Elza dan Ali kembali berkongsi untuk memperkuat tim hukum. Keduanya membawa kekalahan pasangan jagoan mereka ke MK, tapi gagal mengulang kesuksesan uji materi UU Sisdiknas.

Bantahan Elza tak jauh beda dengan kegemarannya memakai sandal jepit ketika berkantor yang tetap saja gagal menyembunyikan penampilan modisnya. Memiliki kulit putih, Elza tahu benar bahwa sapuan blush on warna merah pada tulang pipi bakal membuatnya nampak segar. Dia juga faham betul bagaimana cara menyapukan blush on itu agar membuat wajah bulatnya terkesan lonjong: jangan sekali-kali mendekati hidung! 

 

***

Hampir mustahil membicarakan Ali Abbas tanpa menyertakan sosok Jusuf Kalla. Perkenalan keduanya terjadi pada awal 1970-an ketika sama-sama menceburkan diri dalam bisnis angkutan di Kota Makassar. Ali seorang lulusan Sekolah Hakim dan Djaksa Makassar dengan mengambil spesialisasi hakim, sedangkan Kalla, yang dideskripsikan Ali sebagai pemuda “cakap dan tajam pemikirannya”, merupakan pewaris kerajaan bisnis Kalla Group.

Kedua pemuda sebaya ini semakin akrab setelah sama-sama aktif dalam berbagai organisasi, mulai dari Organda hingga Kadin. Ketika Ali mulai mengajar di Fakultas Hukum Unhas, keduanya bertemu lagi di wadah HMI. Kalla, kelahiran Bone, 15 Mei 1942, menjabat ketua HMI Cabang Makassar, Ali mengetuai organisasi yang sama di fakultasnya.

Ketika Ali memutuskan berhenti sebagai dosen untuk sepenuhnya merintis karier advokat pada awal 1980-an, mulailah babak baru hubungan keduanya. Kalla, yang secara gemilang berhasil memperluas lini bisnis keluarganya, mempercayakan seluruh urusan hukum perusahaan ke kantor hukum milik karibnya itu. Ali berangsur menjadi salah satu pengacara paling disegani di Makassar.

Masuknya Kalla ke pusaran politik nasional pada 1999 membuka pintu bagi Ali untuk melebarkan reputasinya di Ibu Kota. Pada 2003 Ali tercatat sebagai satu dari 63 calon Hakim Agung yang diloloskan Komisi Hukum DPR dalam seleksi persyaratan administratif meski akhirnya gagal di uji kepatutan dan kepantasan. “Dimintai Rp 25 juta, saya tidak mau,” ungkapnya.

Ali selalu bisa diandalkan. Perannya jelas terlihat di salah satu kasus terpenting yang pernah dihadapi Kalla: gugatan hukum yang dilayangkan Gus Dur, mantan presiden yang membawanya ke Jakarta. Gugatan pidana dan perdata ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 Mei 2007. Merasa dicemarkan nama baiknya, Gus Dur menuntut besaran ganti rugi yang tak main-main, mencapai Rp 1,1 triliun. Jumlah yang cukup untuk menggoyang kerajaan bisnis Kalla.

Perseteruan bermula dari pemberitaan isi pidato Kalla, yang ketika itu menjabat Wakil Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, di hadapan forum pengkaderan mahasiswa Golkar di Cibubur pada 9 April 2007. Ketika itu Kalla mengaku dirinya pernah dimintai uang oleh Gus Dur semasa menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan merangkap Kepala Bulog dalam kabinet bentukan Gus Dur. Menolak permintaan atasannya itu, Kalla lantas diberhentikan.

Yang diketahui publik, perseteruan ini berujung pada kesepakatan damai antara kedua tokoh nasional tersebut pada 11 Juli 2007. Di lantai dua Hotel Four Seasons, Jakarta, mereka bertatap muka sekitar 15 menit. Gus Dur dan Kalla saling memaafkan. Gugatan di pengadilan dicabut sepekan setelahnya.

Yang tak banyak diketahui orang adalah peran sentral Ali Abbas dalam kesepakatan ini. Ia-lah orang yang mengambil inisiatif pertama. “Saya panggil lawyer Gus Dur, (saya) suruh agar kedua tokoh ini ketemu langsung,” ujarnya.

Selama lebih dari 40 tahun mengenal Kalla, Ali mengingat, sedikit sekali berseberangan pendapat dengan pemikiran dan capaian karibnya yang cekatan bertindak tersebut. Satu dari yang sedikit itu adalah sikapnya atas kebijakan yang diambil Kalla ketika dipercaya sebagai juru damai Pemerintah dengan GAM. Dalam keyakinan Ali, pemberontak harus menyerah atau ditumpas. Sama seperti Kahar Muzakar, juga Kartosuwiryo. “Bagaimana caranya pemberontak dikasih tanah, diberi partai?” protesnya.

Gugatan uji materi UU Sisdiknas ke MK adalah perkara istimewa. Ali buru-buru pasang badan, mengaku merancang semuanya untuk alasannya sendiri meski ia mengerti orang akan dengan mudah mengarahkan tudingan ke Kalla, Wakil Preside ketika itu. “Mungkin (gugatan) ini sejalan dengan kepentingan Pemerintah, tapi yang utama kepentingan guru dan dosen. Ini gugatan personal,” katanya.

Menanggalkan kacamata, kebiasaannya setiap kali hendak memulai sebuah cerita panjang, Ali berkisah tentang keluarga besarnya di Sengkang yang ia sebut sebagai “keluarga guru”. Ayahnya, Abbas Umma, seorang pengawas sekolah. Dua dari sembilan saudaranya berprofesi guru. Salah satunya Rahmatiah. Paman dan beberapa keponakannya juga guru. “Tahu betul saya kehidupan guru,” ujarnya.

Kehidupan guru yang diketahui Ali bukanlah kehidupan yang enak didengar. Ia mendapati  Rahmatiah sering menangis melihat gaji teman-teman gurunya terlambat datang. Transfer gaji mereka dipakai untuk menutupi keuangan daerah akibat pendapatan yang rendah. Kesejahteraan masih terlalu jauh dari jangkauan para pendidik ini. “Berapa guru naik mobil ke sekolah? Mungkin hampir tak ada,” ucap Ali.

Gugatan uji materi dianggap Ali sebagai langkah yang harus diambil untuk mengubah keadaan ini. Ia yakin betul guru merupakan unsur utama pendidikan, bukan gedung dan berbagai fasilitas fisik. “Tidak bisa alokasi 20 persen itu dipakai untuk komputer, AC, dan fasilitas belajar lengkap, tapi yang mengajar tidak sejahtera,” tuturnya.

Meski pasang badan sebagai pemilik gagasan menggugat di MK, Ali mengaku mengkomunikasikan keinginannya tersebut kepada Kalla. Menurut Ali, ini bagian dari adat orang Bugis. Sowan ke yang lebih dituakan setiap kali ada sesuatu yang penting.

“Saya tanyakan: ‘Pak JK, apa tak tersinggung Pemerintah kita gugat? Ini kan melawan Pemerintah dan DPR?’ Malah beliau senang,” ujar sang advokat.

Benarkah peran Kalla ketika itu hanya menganggukkan kepala?***

 

 

One thought on “Ketika Negara Sepakat Berkhianat (7)”

Leave a comment